Sistem Perpajakan di Indonesia

Sistem Perpajakan di Indonesia

Sistem Pemungutan Pajak di Indonesia

Setiap negara memiliki sistem atau cara dalam pemungutan pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak. Pemungutan pajak secara umum mengenal tiga sistem, yaitu:

1. Official Assesment Sistem, yaitu sistem yang memberikan kewenangan pemerintah atau petugas pemungut pajak untuk menghitung dan menentukan jumlah pajak terutang yang harus dibayar wajib pajak. Perhitungan pajak terutang ditetapkan dengan Surat Ketetapan Pajak. Contoh Pajak Bumi dan Bangunan.

2. Self Assesment System, yaitu sistem yang memberikan kepercayaan dan kewenangan pada wajib pajak untuk menghitung, menentukan besarnya pajak, melaporkan dan membayarnya sendiri. Pada sistem ini petugas pajak melakukan pengawasan dan bimbingan pada wajib pajak, selain penegakan hukum. Contoh Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barangf Mewah (PPn-BM).

3. With Holding System, yaitu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang pada pihak ketiga untuk memotong atau memungut, dan menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. Contoh pemotongan pajak penghasilan karyawan (PPh pasal 21).

Alur Perpajakan di Indonesia

Dalam rangka peningkatan pelayanan kepada masyarakat wajib pajak perlu adanya perbaikan administrasi perpajakan. Reformasi administrasi perpajakan dibutuhkan untuk meningkatkan kemampuan Direktorat Jenderal Pajak dalam mengawasi pelaksanaan ketentuan perpajakan yang berlaku dengan prinsip Good Governance.

Good Governance yang dilandasi sifat transparan, akuntabel, responsif, independen dan adil, akan mendukung visi Direktorat Jenderal Pajak, yaitu menjadi“Model Pelayanan Masyarakat yang Menyelenggarakian Sistem dan Manajemen Perpajakan Kelas Dunia yang Dipercaya dan Dibanggakan oleh Masyarakat”.

Perbaikan mutu layanan secara berkesinambungan merupakan hal yang mutlak harus dilakukan. Account Representative (AR) berfungsi untuk menjembatani antara kantor pajak dengan wajib pajak, untuk memaksimalkan fungsi bimbingan, konsultasi, dan pembinaan kepada wajib pajak.

Ketentuan formal tentang perpajakan diatur dalam UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), dan ketentuan material diatur dalam UU Pajak Penghasilan maupun Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

Alur Pembayaran Pajak 

Keterangan gambar:

1. Wajib pajak mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) secara langsung ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau secara online.

2. Setelah terdaftar, wajib pajak harus menghitung jumlah pajak yang terutang, atas dasar itu membayarnya ke Bank yang ditunjuk Pemerintah atau kantor pos dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP).

3. Wajib Pajak mengisi Surat Pemberitahuan (SPT) dan melaporkannya secara langsung ke KPP atau mengirimkan dokumen SSP lembar ketiga dan SPTnya.

4. Wajib pajak akan mendapat tanda terima penyampaian SPT.

Objek Pajak dan Cara Pengenaan Pajak Objek Pajak

Objek pajak adalah segala sesuatu yang menurut undang-undang dijadikan dasar pengenaan pajak. Sistem perpajakan di Indonesia diatur sebagai berikut:

1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan (PPh).

3. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa (PPN) dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM).

4. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

5. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 Tentang Bea Materai dan Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 2000 Tentang Perubahan Tarif Bea Materai.

Cara Pengenaan Pajak

1. Pajak Penghasilan (PPh)

a. Pengertian Pajak Penghasilan

Pajak penghasilan adalah pajak yang dikenakan pada orang pribadi atau badan (subjek pajak) atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam satu tahun pajak.

b. Subjek Pajak 

adalah orang pribadi atau badan yang diwajibkan membayar pajak berdasarkan kemampuan dan kondisinya. Dalam Pasal 2, subjek pajak adalah orang pribadi atau perseorangan dan warisan yang belum terbagi sebagai suatu kesatuan. Badan yang berbentuk perseroan terbatas, perseroan komanditer, yayasan, badan usaha milik negara atau daerah, dan persekutuan lainnya, juga termasuk sebagai subjek pajak. Selain kedua pihak tersebut, bentuk usaha tetap juga dimasukkan dalam kelompok subjek pajak.

c. Objek Pajak

yaitu penghasilan atau tambahan kemampuan ekonomis yang diperoleh wajib pajak. Penghasilan yang dimaksud dapat dipakai untuk kegiatan konsumsi atau menambah kekayaan. Berikut ini contoh objek pajak penghasilan:

1) Gaji, upah, tunjangan, honorarium, uang pensiun, gratifikasi, komisi, bonus, dan imbalan lainnya atas pekerjaan atau jasa.

2) Hadiah yang berasal dari undian atau pekerjaan dan penghargaan.

3) Laba usaha, keuntungan yang berasal dari penjualan atau pengalihan harta, keuntungan atas pembebasan utang, dan keuntungan selisih kurs mata uang.

4) Bunga premium, diskonto, imbalan karena jaminan pengembalian utang, dividen, dan premi asuransi.

5) Royalti, sewa dan penghasilan yang berhubungan dengan kegiatan penggunaan harta, serta penghasilan yang berasal dari usaha berbasis syariah.

6) Tambahan kekayaan neto dari penghasilan yang belum terkena pajak, dan sebagainya.

d. Penghasilan Tidak Kena Pajak

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) adalah pengurangan terhadap penghasilan bruto Wajib Pajak. Besar PTKP ditentukan oleh pemerintah, khususnya Menteri Keuangan, berdasarkan perkembangan ekonomi dan harga kebutuhan pokok di Indonesia. Selain aturan yang tertera dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, terdapat Peraturan Menteri Keuangan (PMK) RI Nomor 101/PMK.010/2016 tentang Penyesuaian PTKP. Dalam aturan baru ini, jumlah PTKP:

1) Untuk diri Wajib Pajak Orang Pribadi sebesar Rp54.000.000,00 (lima puluh empat juta rupiah) per tahun atau Rp4.500.000,00 per bulan.

2) Tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin sebesar Rp4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu rupiah) per tahun atau Rp375.000,00 per bulan.

3) Tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) sebesar Rp54.000.000,00 (lima puluh empat juta rupiah) per tahun atau Rp4.500.000,00 per bulan.

4) Tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga sebesar Rp4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu rupiah) per tahun atau Rp375.000,00 per bulan

e. Tarif Pajak Penghasilan

Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 pasal 17, Tarif Pajak yang ditetapkan atas Penghasilan Kena Pajak dan besarnya Pajak Penghasilan dihitung berdasarkan PKP (Penghasilan Kena Pajak).

Menurut Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 Pasal 17, Tarif Pajak yang ditetapkan atas penghasilan sebagai berikut:

1) Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) dalam negeri adalah:

Keterangan:

PKP= Penghasilan bersih per tahun – Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)

2) Wajib pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap

Untuk menghitung pajak ini didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Wajib Pajak Badan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu. Beberapa hal yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut:

a) Peredaran Bruto (omzet)

Merupakan jumlah peredaran bruto (omzet) semua gerai/counter/ outlet atau sejenisnya baik pusat maupun cabangnya.

b) Objek Pajaknya

Penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak dengan peredaran bruto (omzet) yang tidak melebihi Rp4,8 miliar dalam 1 tahun pajak, serta besarnya pajak yang terutang dan harus dibayar adalah 1% dari jumlah peredaran bruto (omzet).

c) Jenis usaha yang dikenakan

Jenis usaha yang dikenakan diantaranya: usaha dagang, industri, dan jasa, seperti misalnya toko/kios/los kelontong, pakaian, elektronik, bengkel, penjahit, warung/rumah makan, salon, dan usaha lainnya.

d) Subjek Pajaknya

Subyek pajak adalah orang pribadi dan badan, tidak termasuk Bentuk Usaha Tetap (BUT), yang menerima penghasilan dari usaha dengan peredaran bruto (omzet) yang tidak melebihi Rp4,8 miliar dalam 1 (satu) tahun pajak.

2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

a. Pengertian Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Pajak Pertambahan Nilai atau PPN adalah pungutan yang dibebankan atas transaksi jual-beli barang dan jasa yang dilakukan oleh wajib pajak pribadi atau wajib pajak badan yang telah menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP). Jadi, yang berkewajiban memungut, menyetor dan melaporkan PPN adalah para Pedagang/Penjual. Namun, pihak yang berkewajiban membayar PPN adalah konsumen akhir. PPN atau Pajak Pertambahan Nilai dikenakan dan disetorkan oleh pengusaha atau perusahaan yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Namun beban PPN tersebut ditanggung oleh konsumen akhir. Sejak 1 Juli 2016, PKP se-Indonesia wajib membuat faktur pajak elektronik atau e- Faktur untuk menghindari penerbitan faktur pajak fiktif untuk pengenaan PPN kepada lawan transaksinya.

Pajak Penjualan atas Barang Mewah dikenakan di samping PPN, artinya untuk barang mewah selain kena PPN juga dikenakan PPnBM.

b. Objek Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai atau biasa disebut dengan Objek PPN adalah:

1) Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha.

2) Impor Barang Kena Pajak.

3) Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.

4) Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.

5) Ekspor Barang Kena Pajak berwujud atau tidak berwujud dan Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP).

c. Tarif Pajak PPN dan PPnBM

Tarif PPN menurut ketentuan Undang-Undang No.42 tahun 2009 pasal 7:

1) Tarif PPN (Pajak Pertambahan Nilai) adalah 10% (sepuluh persen).

2) Tarif PPN (Pajak Pertambahan Nilai) sebesar 0% (nol persen) diterapkan atas:

    o Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud.

    o Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud.

    o Ekspor Jasa Kena Pajak.

3) Tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berubah menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi sebesar 15% (lima belas persen) sebagaimana diatur oleh Peraturan Pemerintah.

Menurut Pasal 8 Undang-Undang No. 42 Tahun 2009, tarif Pajak Penjualan Atas Barang Mewah ditetapkan paling rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi sebesar 200% (dua ratus persen). Jika pengusaha melakukan ekspor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah maka akan dikenai pajak dengan tarif sebesar 0% (nol persen). Barang- barang yang tergolong mewah dan harus dikenai PPnBM ialah:

    o Barang yang bukan merupakan barang kebutuhan pokok.

    o Barang yang hanya dikonsumsi oleh masyarakat tertentu.

    o Barang yang hanya dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi.

    o Barang yang dikonsumsi hanya untuk menunjukkan status atau kelas sosial.

3. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) 

a. Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

Pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 pada bulan September 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Atas dasar tersebut pemerintah mengalihkan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan pengalihan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan(PBB-P2) menjadi Pajak Daerah.

Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. Mulai tanggal 1 Januari 2014 PBB Perdesaan dan Perkotaan merupakan Pajak Daerah Kabupaten/Kota. Sedangkan untuk PBB Perkebunan, Perhutanan, Pertambangan masih tetap merupakan Pajak Pusat.

b. Subjek Pajak PBB 

Subjek PBB adalah orang pribadi dan badan yang secara nyata memiliki hal- hal berikut ini:

1) Mempunyai hak atas bumi.

2) Memperoleh manfaat atas bumi.

3) Memiliki bangunan.

4) Menguasai bangunan.

5) Memperoleh manfaat atas bangunan.

4. Bea Materai

a. Pengertian Bea Materai

Bea meterai merupakan pajak atas dokumen yang terutang sejak saat dokumen tersebut ditandatangani oleh pihak-pihak yang berkepentingan, atau diserahkan kepada pihak lain jika dokumen itu hanya dibuat oleh satu pihak.

b. Dokumen yang dikenakan Bea Materai

1) Surat yang memuat jumlah uang, di antaranya: Surat yang menyebutkan penerimaan uang, surat yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening di bank, surat yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank, surat yang berisi pengakuan bahwa utang uang seluruhnya atau sebagiannya telah dilunasi atau diperhitungan.

2) Surat berharga seperti wesel, promes, dan aksep.

3) Dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka Pengendalian, yaitu: Surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan, surat-surat yang semula tidak dikenakan bea meterai berdasarkan tujuannya jika digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang lain selain dari maksud semula.

4) Tarif Bea materai

Bea Meterai adalah pajak yang dikenakan atas pemanfaatan dokumen, seperti surat perjanjian, akta notaris, serta kuitansi pembayaran, surat berharga dan efek, yang memuat jumlah uang atau nominal di atas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan. Berdasarkan peraturan pemerintah Nomor 24 Tahun 2000, besarnya bea meterai sebagai berikut:

1. Surat perjanjian, akta notaris, akta PPAT, surat lamaran sebesar Rp6.000,00.

2. Dokumen nominal Rp250.000,00 sampai dengan Rp1.000.000,00 sebesar Rp3.000,00. Lebih dari Rp1.000.000,00 sebesar Rp 6.000,00.

3. Cek dan bilyet giro sebesar Rp3.000,00.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Sistem Perpajakan di Indonesia"

Post a Comment