Konflik di Eropa
Konflik di Eropa
a. Konflik Bosnia dan Herzegovina
Bosnia dan Herzegovina atau cukup disebut Bosnia merupakan sebuah negara republik di semenanjung Balkan. Negara Bosnia didiami oleh tiga kelompok etnik utama, yaitu etnik Bosnia, Serbia, dan Kroasia. Negara Bosnia merupakan bekas wilayah dari negara besar Yugoslavia yang dipimpin oleh Joseph Broz Tito. Sejak meninggalnya Presiden Tito pada tahun 1980, negara-negara bagian Yugoslavia mulai terpecah dan menuntut kemerdekaan, salah satunya adalah wilayah Bosnia.
Pada bulan Maret 1992, Bosnia menyatakan kemerdekaannya melalui referendum yang diikuti oleh etnik Bosnia, etnik Kroasia dan pendukung kemerdekaan Bosnia. Pada April 1992, organisasi Uni Eropa mengakui kemerdekaan Bosnia yang disusul oleh Amerika Serikat. Namun kemerdekaan Bosnia ini diboikot oleh etnik Serbia. Kemerdekaan ini juga dianggap tidak sah karena pemerintah Yugoslavia menolaknya.
Penolakan ini atas dasar pemikiran Slobodan Milosevic yang ingin menyatukan kembali wilayah-wilayah Yugoslavia sepeninggal Tito. Slobodan Milosevic merupakan golongan etnik Serbia yang berhaluan ultranasionalis yang telah terpilih menjadi presiden negara bagian Serbia. la memiliki ambisi untuk mengubah Yugoslavia menjadi "Serbia Raya", sebuah negara yang penduduknya hanya diisi oleh etnis Serbia. Penolakan atas tuntutan kemerdekaan Bosnia juga direspons oleh pemerintah Yugoslavia dengan mempersenjatai orang-orang Serbia beserta para milisi yang tinggal di Bosnia untuk menguasai sepenuhnya tanah Bosnia. Perang antara etnik Bosnia-Kroasia melawan Serbia pun akhirnya tidak dapat dihindari.
Pasukan militer Yugoslavia yang dibantu oleh milisi Serbia memulai invasinya ke ibukota Sarajevo di Bosnia. Pasukan Serbia unggul dalam hal persenjataan dan pasukan, sehingga mereka sukses menduduki area di sekitar Sarajevo. Di wilayah-wilayah penaklukan pasukan Serbia inilah, terjadi pembunuhan, penyiksaan hingga pemerkosaan terhadap warga Bosnia dan Kroasia.
Pada Mei 1992, PBB akhirnya turun tangan dan menjatuhkan sanksi dan embargo internasional terhadap Yugoslavia. PBB juga membentuk pasukan perdamaian bagi Bosnia (UNPROFOR). Pada bulan April 1993, NATO di bawah pengawasan PBB juga menerapkan zona larangan terbang di atas wilayah Yugoslavia. Selanjutnya PBB mengumumkan pendirian "zona aman PBB" yang tidak boleh dimasuki oleh pasukan bersenjata dan sebagai daerah penampungan warga sipil Bosnia. Zona aman PBB tersebut meliputi wilayah Sarajevo, Srebrenica, Gorazde, Tuzla, Zepa, dan Bihac.
Sanksi embargo terhadap Yugoslavia membuat situasi negara Yugoslavia mengalami krisis ekonomi. Pasukan Serbia dibawah perintah Yugoslavia, kemudian menargetkan penyerangan terhadap zona aman PBB. Pasukan Serbia berhasil menaklukkan dua wilayah yang termasuk zona aman PBB yaitu wilayah Tuzla dan Srebrenica. Pembantaian kembali dilakukan oleh pasukan Serbia terhadap etnik Bosnia dan Krosia di Srebrenica.
Aksi penyerangan dan pembantaian yang dilakukan pasukan etnis Serbia di zona-zona aman PBB membuat PBB dan NATO geram. Sejak bulan Agustus 1995, pasukan PBB dan NATO melakukan operasi militer gabungan untuk menghancurkan basis-basis militer pasukan Serbia di Bosnia. Berbagai wilayah Serbia dan ibukota Beogard juga menjadi sasaran pasukan PBB-NATO untuk melumpuhkan pasukan Serbia. Slobodan Milosevic selaku pemimpin dari pasukan etnik Serbia menyatakan menyerah dan bersedia mengikuti perundingan damai.
Tanggal 14 Desember 1995, pihak Serbia dan Bosnia-Kroasia melakukan perundingan di bawah pengawasan PBB dan mencapai kesepakatan perdamaian yang disebut Perjanjian Dayton. Perjanjian Dayton ditkaliantangani oleh Presiden Serbia Slobodan Milosevic, Presiden Bosnia Alija Izetbegovic, dan pemimpin Kroasia, Franjo Tudjman setelah melewati tiga pekan negosiasi.
b. Konflik Nagorno-Karabakh
Nagorno-Karabakh merupakan wilayah di kawasan pegunungan Kaukasus yang diapit oleh laut Hitam dan laut Kaspia. Nagorno-Karabakh menjadi wilayah yang dipersengketakan oleh negara Armenia dan negara Azerbaijan. Nagorno- Karabakh terletak di wilayah strategis karena merupakan jalur darat yang menghubungkan kawasan Timur Tengah dengan Eropa Timur. Pegunungan Kaukasus juga menyimpan kekayaan barang tambang, salah satunya minyak bumi.
Secara geografis, wilayah Nagorno-Karabakh terletak di wilayah Azerbaijan, namun komposisi penduduknya didominasi oleh etnis Armenia. Wilayah Armenia dan Azerbaijan pernah menjadi daerah kekuasaan Uni Soviet. Uni Soviet menjadikan dua wilayah tersebut sebagai negara federasi dan memutuskan wilayah Nagorno-Karabakh masuk sebagai wilayah resmi dari Azerbaijan.
Konflik memperebutkan wilayah Nagorno-Karabakh muncul ketika Mikhail Gorbachev kala menjadi presiden Uni Soviet pada tahun 1985 mengeluarkan kebijakan Glasnot dan Perestroika. Salah satu kebijakan tersebut yaitu Glasnot, memuat adanya kebebasan pada masing-masing wilayah Uni Soviet untuk menentukan masa depannya sendiri. Armenia dan Azerbaijan pun akhirnya memerdekakan diri dan menjadi negara berdaulat.
Akibatnya, muncul perang perebutan wilayah Nagorno-Karabakh antara negara Armenia dan Azerbaijan. Secara garis besar, perang tersebut terbagi ke dalam dua fase, yaitu fase I (1988-1991) dan fase II (1992-1994).
1. Fase (1988-1991)
Fase I disebut juga sebagai fase konflik antaretnis. Fase ini ditkaliani dengan konflik tertutup antara etnis Armenia dan Azerbaijan atas wilayah Nagorno- Karabakh. Pada fase I ini, negara-negara tersebut masih merupakan bagiarn dari Uni Soviet. Namun setelah muncul kebijakan Glasnost, sengketa atas Nagorno-Karabakh kemudian berubah menjadi konflik terbuka antaretnis. Konflik pada fase I ini cenderung masih berupa kontak senjata yang intensitas dan ruang lingkupnya masih terbatas.
2. Fase II (1992-1994)
Fase II disebut juga sebagai fase konflik antarnegara. Konflik ini bermula ketika Uni Soviet runtuh dan wilayah Armenia dan Azerbaijan menjadi negara berdaulat. Dampak dari kemerdekaan dua negara ini adalah munculnya saling klaim atas hak wilayah Nagorno-Karabakh. Armenia menganggap Nagorno- Karabakh sebagai bagian dari wilayahnya karena wilayah tersebut dihuni oleh mayoritas etnis Armenia. Sedangkan Azerbaijan tetap mengklaim Nagorno- Karabakh sebagai bagian resmi dari wilayahnya seperti saat masih menjadi bagian dari Uni Soviet.
Fase II ini merupakan fase perang terbuka antarnegara karena masing-masing pihak menerjunkan pasukan militer dan berbagai persenjataan beratnya. Perang berakhir pada tahun 1994 dengan kemenangan etnis Armenia, namun persengketaan atas status Nagorno-Karabakh tetap berlanjut hingga sekarang karena belum mencapai titik temu atas solusi yang baik bagi kedua negara.
c. Konflik di Ukraina
Ukraina merupakan salah satu negara bekas pecahan Uni Soviet yang berada di kawasan Eropa Timur. Penduduk Ukraina terbagi ke dalam dua kelompok etnis utama yaitu kelompok etnis Ukraina yang populasinya terkonsentrasi di Ukraina Barat dan Utara, serta kelompok etnis Rusia yang populasinya terkonsentrasi di Ukraina Timur dan Selatan.
Pada tahun 2010, Ukraina dipimpin oleh Presiden Viktor Yanukovych yang berasal dari etnis Rusia. Presiden Viktor Yanukovych merupakan pemimpin Ukraina yang memiliki basis pendukung besar dari penduduk Ukraina Timur dan Selatan. Kebijakan- kebijakan politik yang dibuatnya pun cenderung condong ke Rusia dan menguntungkan Rusia.
Rakyat Ukraina menuntut agar pemerintah Ukraina bergabung dalam kerja sama dagang dengan Uni Eropa. Rakyat menganggap bahwa kerja sama dengan Uni Eropa akan lebih memajukan Ukraina dari pada harus bekerja sama dengan Rusia. Namun pada akhir tahun 2013, Presiden Yanukovych membatalkan kesepakatan dagang antara Ukraina dan Uni Eropa dengan alasan mendapatkan tekanan dari Rusia. Pembatalan ini menimbulkan kekacauan dan mendapatkan kecaman dari rakyat. Rakyat Ukraina kemudian melakukan demonstrasi memprotes keputusan Presiden Yanukovych di ibukota Kiev. Parlemen Ukraina akhirnya memutuskan untuk mengabulkan tuntutan para demonstran dan melengserkan Yanukovych pada bulan Februari 2014.
Lengsernya presiden yang pro-Rusia ini dianggap oleh Rusia sebagai ancaman kepentingan ekonomi dan keamanan negaranya karena Ukraina tentu akan ikut terlibat dan berhubungan dengan NATO. Kekacauan di ibukota terus menjalar hingga ke Crimea, Ukraina Selatan yang dihuni oleh mayoritas penduduk pro- Rusia.
Di Crimea inilah terdapat pangkalan militer Rusia dan para milisi yang pro-Rusia. Pada Maret 2014 sejumlah milisi pro-Rusia menyandera gedung pemerintahan setempat dan menggelar referendum secara sepihak yang dimenangkan milisi pro-Rusia.
Sejumlah milisi pro-Rusia yang berada di provinsi Donetsk dan Luhansk (wilayah Ukraina Timur yang berbatasan dengan Rusia) melancarkan aksi serupa dengan menduduki gedung-gedung pemerintahan setempat. Para milisi yang berhasil menduduki gedung pemerintahan ini, kemudian mendeklarasikan negara Republik Rakyat Donetsk (di provinsi Donetsk) dan Republik Rakyat Luhansk (di provinsi Luhansk). Deklarasi kemerdekaan ini langsung mendapatkan tanggapan penolakan dari pemerintah pusat Ukraina. Ukraina menyerukan ancaman akan menurunkan pasukan ke Ukraina Timur, jika kedua provinsi tersebut tidak mau membatalkan deklarasinya.
Hingga 15 April, ultimatum dari pemerintah Ukraina untuk membatalkan deklarasi tidak diindahkan oleh milisi di Ukraina Timur. Pemerintah Ukraina akhirnya mengirimkan pasukannya ke Ukraina Timur untuk menundukkan kaum separatis yang dipimpin oleh milisi pro-Rusia. Penyerangan ke Ukraina Timur ini sekaligus mengawali perang saudara di Ukraina, yang juga disebut Perang Donbass.
Perang Donbass menjadi perang besar antara Ukraina dengan milisi dari pihak separatis yang didukung oleh Rusia. Wilayah Ukraina Timur khususnya daerah Donetsk dan Luhansk menjadi medan tempur. Hingga akhir bulan September 2014 jumlah korban tewas akibat Perang Donbass dilaporkan sudah menembus angka 3.500 jiwa lebih. Perang tersebut juga membuat lebih dari 1 juta penduduk Ukraina Timur mengungsi. Sementara itu, perang ini juga membuat hubungan antara Rusia dan negara-negara Barat pro-Ukraina menegang, dan berakibat pada saling menjatuhkan sanksi ekonomi.
0 Response to "Konflik di Eropa"
Post a Comment