Konflik di Afrika

Konflik di Afrika

a. Konflik Kongo

Republik Demokratik Kongo merupakan salah satu negara di Afrika yang memiliki kekayaan alam berupa sumber mineral yang sangat dibutuhkan untuk industri. Wilayah Kongo telah menjadi medan perebutan sejak periode Perang Dingin bahkan agen CIA juga turut terlibat dalam perebutan tersebut. Sebelumnya, negara Kongo bernama Zaire dan dibawah pemerintahan Mobutu Sese Seko yang pro-Amerika. Mobutu telah mengeksploitasi sumber kekayaan negeri Zaire selama 30 tahun dan hasilnya hanya dinikmati oleh segelintir elit dan rezim yang berkuasa.

Pada dekade 90-an, muncullah kekecewaan dan ketidakpuasan dari rakyat terhadap rezim Mobutu yang korup ditambah dengan kondisi ekonomi Zaire yang hancur. Ketidakpuasan tersebut melahirkan sikap berontak dari pihak- pihak oposisi, salah satunya adalah pemberontakan Popular Revolutionary Party (PRP, Partai Revolusioner Populer) di bawah pimpinan Laurent-Desire Kabila. PRP kemudian bergabung dengan kelompok pemberontak dan milisi suku Tustsi yang anti-Mobutu dan membentuk aliansi baru bernama Alliance des Forces Democratiques pour la Liberation du Congo-Zaire (AFDL-CZ, Aliansi Pasukan Demokratik untuk Pembebasan Kongo-Zaire). AFDL juga mendapatkan dukungan pasukan tentara dari negara Angola, Burundi, Rwkalian, Ugkalian untuk menumbangkan rezim Mobutu. Perang tak terhindarkan antara pasukan gabungan AFDL dengan pemerintah Zaire.

Konflik Kongo ini secara garis besar terbagi menjadi dua periode, yaitu Perang Kongo I dan Perang Kongo II.

1. Perang Kongo I (1996-1997)

Perang Kongo I terjadi antara pasukan Zaire dengan pasukan dari AFDL dan milisi anti-Mobutu. Dengan demikian pasukan dari negara Zaire harus menghadapi gabungan kekuatan dari empat negara sekaligus yaitu Angola, Burundi, Rwkalian, dan Ugkalian. Pasukan gabungan ini secara perlahan berhasil merebut daerah Zaire di wilayah timur hingga menuju ibukota Zaire, Kinshasa. Pertempuran berat terjadi di sekitar ibukota antara pasukan gabungan AFDL dengan pasukan Zaire yang dibantu oleh milisi pro-Mobutu dari Angola. Korban jiwa yang timbul akibat pertempuran tersebut mencapai 300 orang lebih dan menjadikan salah satu peristiwa pertempuran paling berdarah selama Perang Kongo I. Pasukan gabungan AFDL berhasil menumbangkan rezim Mobutu dan menduduki ibukota Zaire di Kinshasa. Laurent-Desire Kabila selaku pemimpin kelompok AFDL, kemudian mengambil alih pemerintahan dan menjadi presiden Zaire. Dalam mengawali pemerintahan yang baru, Laurent-Desire Kabila mengganti nama Zaire menjadi Republik Demokratik Kongo (RDK).

2. Perang Kongo II (1996-1997)

Perang Kongo II dilatarbelakangi oleh berubahnya sikap dan kebijakan Presiden Laurent-Desire Kabila terhadap negara-negara sekutu yang membantu dalam menggulingkan rezim Mobutu. Presiden Kabila merasa bahwa negara Rwkalian dan Ugkalian telah melakukan eksploitasi mineral vang ada di wilayah timur Republik Demokratik Kongo (RDK) untuk kepentingan mereka sendiri. Kabila juga memerintahkan seluruh pasukan Rwkalian maupun Ugkalian meninggalkan negara RDK. Akhirnya hubungan antara RDK dengan Rwkalian dan Ugkalian merenggang.

Pihak Rwkalian dan Ugkalian berbalik arah memusuhi Presiden Kabila dengan membantu etnis Banyamulenge di RDK timur untuk merongrong rezim Kabila dengan jalan pemberontakan. Etnis Banyamulenge merupakan etnis yang bermukim di wilayah RDK timur dan memiliki hubungan yang kurang baik dengan pemerintah RDK pusat. Pada Tanggal 2 Agustus 1998, komunitas etnis Banyamulenge membentuk kelompok pemberontak anti- Kabila yang bernama Rassemblement Congolais pour la Democratie (RCD, Pekumpulan untuk Demokrasi Kongo). Pihak pemerintah Rwkalian dan Ugkalian mendukung pemberontakan tersebut dan mengirimkan pasukannya untuk membantu RCD. Pasukan gabungan ini kemudian melakukan pemberontakan di kota Goma, RDK timur. Dalam waktu singkat, pasukan gabungan yang sama-sama anti-Kabila tersebut berhasil merebut kota-kota penting di RDK timur.

Presiden Kabila menyerukan kepada para penduduk untuk mempersenjatai diri untuk melawan pasukan gabungan RCD. Presiden juga pergi ke luar negeri mencari dukungan dari negara-negara di Afrika. Empat negara Afrika, Angola, Chad, Namibia, dan Zimbabwe bersedia mengirimkan pasukan untuk membantu negara RDK.

Pertempuran berskala besar tidak terhindarkan antara pasukan gabungan RDK, Angola, Chad, Namibia, dan Zimbabwe melawan pasukan gabungan pemberontak dari RCD, Rwkalian dan Ugkalian. Pertempuran keduabelah pihak tidak berlangsung secara frontal, melainkan lebih bersifat gerilya. Akibat pertempuran yang melibatkan beberapa kelompok dan negara ini, warga sipil menjadi korban paling besar akibat perampasan, pelecehan, bahkan pembantaian. Ekosistem hutan dan satwa juga tidak luput dari perusakan yang dilakukan oleh kedua pasukan. Perang yang berlarut-larut dan tidak jelas, akhirnya menemui jalan buntu. Pihak-pihak yang terlibat perang sepakat untuk berunding pada Juni 1999 di Lusaka, Zambia. Negara yang mengikuti perundingan (RDK, Angola, Namibia, Zimbabwe, Rwkalian, dan Ugkalian) kemudian sepakat untuk mengakhiri konflik bersenjata. Meskipun demikian, baku tembak dalam skala kecil masih terus terjadi antara milisi pro-Kabila melawan milisi anti-Kabila.

Cerita pilu korban perang di Konggo.
Anak-anak menjadi korban perang

b. Konflik Sudan

Sudan merupakan salah satu negara yang terletak di wilayah Timur Laut Afrika. Sudan berbatasan dengan Mesir di sebelah Utara, Laut Merah di sebelah Timur, Kongo dan Republik Afrika Tengah di sebelah Barat Daya, serta Libya di sebelah Barat Laut. Negara Sudan memiliki jumlah penduduk sekitar 37,28 juta jiwa pada tahun 2013/2014 dengan luas wilayahnya sekitar 1.88 juta km. Sudan juga memiliki kekayaan sumber daya alam strategis, antara lain emas, granit, biji besi, perak, uranium, hingga gas alam dan minyak bumi.

Sudan terdiri dari dua etnis berbeda yang rawan menjadi pemicu konflik sipil. Di Sudan bagian utara, mayoritas penduduknya berasal dari etnis Arab dengan mata pencaharian yang beragam, meliputi pegawai, nelayan, petani dan lain sebagainya yang mendukung perkembangan. Sedangkan di Sudan bagian selatan, terdiri dari mayoritas etnis Afrika (Negro) yang armata pencaharian sebagai petani dan penggembala. Pembangunan dan tingkat pendidikan di Sudan selatan relatif rendah dari Sudan bagian utara. Hal inilah yang membuat wilayah Sudan selatan kurang maju dan tertinggal.

Konflik mulai muncul antara pemerintah Sudan pusat di utara dengan para kelompok bersenjata dari Sudan selatan yang menginginkan keadilan. Kelompok bersenjata tersebut bernama Sudan People's Liberation Army (SPLA, Tentara Pembebasan Rakyat Sudan) dan dipimpin oleh John Garang de Mabior. Awal konflik dipicu atas keputusan Presiden Nimeiry pada tahun 1983 yang mengumumkan akan menjalankan hukum Islam sebagai peraturan nasional dan berlaku untuk seluruh wilayah Sudan. Hal ini membuat kelompok SPLA mengangkat senjata dan menuduh Presiden Nameirey memicu perpecahan etnis di Sudan.

Pada tahun 1985, Presiden Nimeiry lengser dari jabatannya akibat terjadi kudeta. Setahun setelahnya, tahun 1986 diadakanlah pemilihan umum di seluruh Sudan untuk mendapatkan pemerintahan demokratik Sudan yang baru. Pemerintah terpilih kemudian mengadakan perundingan damai dengan SPLA dengan agenda mengakhiri darurat nasional. SPLA juga menuntut pemerintah Sudan berhenti memasukkan hukum Islam ke dalam Undang-Undang nasional Sudan. Perundingan tidak mencapai kesepakatan karena tuntutan tersebut tidak dapat diterima oleh kelompok beraliran religius bernama National Islamic Front (NIF, Front Islamis Nasional).

Konflik dan pertempuran antara pemerintah Sudan dan SPLA terus berlangsung hingga memasuki tahun 90-an. Pemerintah Sudan mendapat suplai persenjataan dari Uni Soviet dan selanjutnya mendapatkan suplai persenjataan baru dari Cina. Sementara SPLA mengkalianlkan suplai persenjataan dari Israel dan negara tetangga Sudan di selatan seperti Ugkalian, dari Ethiopia, dan Eritrea bahkan Amerika.

Memasuki tahun 1991, kondisi konflik di Sudan semakin kompleks karena kelompok antipemerintah baru bernama National Democratic Alliance (NDA, Aliansi Demokratik Nasional) yang anggotanya terdiri dari partai oposisi dan kelompok etnis di Sudan Utara. Kemunculan NDA membuka front perang baru di Sudan sehingga perang sipil di Sudan berubah menjadi konflik 3 kubu, yaitu Sudan Tengah (pemerintahan pusat Sudan), Sudan Selatan (SPLA), dan Sudan Timur Laut (NDA).

Terlepas dari semakin kompleksnya perang di Sudan, upaya untuk mencapai kesepakatan damai terus dilakukan dari berbagai pihak. Tepatnya pada Januari 2002, diputuskan untuk melakukan gencatan senjata antara pemerintah Sudan dengan SPLA dan untuk selanjutnya dilakukan perundingan damai bersama. Perjanjian damai pun tercapai pada tahun 2005 di Nairobi, Kenya, Afrika timur. Pada Januari 2011 diadakan referendum yang menghasilkan keputusan kemerdekaan bagi Sudan Selatan, Salva Kiir Mayardit sebagai presidennya. Meskipun antara Sudan Utara dan Sudan Selatan telah melakukan perdamaian, namun Sudan masih dibayangi oleh beragam konflik dan perang sipil akibat beragam perbedaan, ketidakpuasan dengan pemerintah, maupun adanya motif kepentingan asing yang ingin mengambil keuntungan dari kekayaan alam Sudan.

c. Konflik Somalia

Somalia diantara negara-nega lain di Afrika

Somalia adalah sebuah negara yang terletak di Tanduk Afrika. Disebut demikian karena Somalia terletak di semenanjung Benua Afrika bagian timur.

Somalia juga memiliki daerah pesisir yang menghadap ke dua sisi. Pada pesisir sebelah utara, menghadap ke Teluk Aden dan pesisir sebelah timur, menghadap ke Samudra Hindia. Sedangkan di daerah daratan, negara ini berbatasan dengan negara Kenya, Dibouti, dan Ethiopia. Luas wilayah Somalia mencapai 637.657 km dan ditinggali oleh beragam suku berbeda.

Keragaman suku yang tinggal di Somalia tidak diimbangi dengan persatuan dan keharmonisan. Perbedaan dan keragaman suku di Somalia cenderung menjadi penyebab munculnya konflik dan perang sipil. Ketidakharmonisan ini antara lain disebabkan oleh perebutan kekuasaan, pasokan air, dan daerah yang memiliki sumber daya alam.

Konflik di Somalia sudah berlangsung sejak tahun 1988, dan berkembang menjadi perang sipil pada tahun 1991 yang bahkan masih berlangsung hingga sekarang. Konflik yang berujung perang sipil di Somalia ini dapat dikatakan sangat rumit dan kompleks karena banyaknya pihak yang terlibat perang dengan kepentingan masing-masing.

Sejak tahun 1969, Somalia dipimpin oleh Muhammad Siad Barre yang memerintah secara otoriter. Kondisi domestik Somalia juga semakin memburuk akibat merosotnya perekonomian negara dan semakin jenuhnya rakyat terhadap gaya pemerintahan otoriter rezim Barre. Kepemimpinan Barre ini kemudian memunculkan kelompok-kelompok pemberontak yang berusaha menggulingkannya. Beberapa kelompok pemberontak yang menentang rezim Barre di antaranya:

1) Somali Salvation Democratic Front (SSDF, Front Demokratik Keselamatan Somalia)

2) Somali National Movement (SNM, Gerakan Nasional Somalia)

3) Somali Patriot Movement (SPM, Gerakan Patriot Somalia)

4) United Somali Congress (USC, Dewan Somalia Bersatu).

Banyaknya kelompok pemberontak berhasil menggulingkan rezim Barre pada tahun 1991. Sejak lengsernya Barre dari tampuk kepemimpinan inilah kondisi Somalia semakin kacau dan dimulailah perang sipil Somalia. Kelompok pemberontak yang dulu memiliki satu misi untuk menggulingkan rezim Barre kemudian saling berebut tampuk kepemimpinan atas Somalia. Akhirnya melahirkan sebuah negara dalam negara, karena kelompok-kelompok tersebut mendeklarasikan negara di atas wilayah yang dikuasainya, berikut di antaranya:

1) Somali National Movement (SNM, Gerakan Nasional Somalia) berhasil mendeklarasikan berdirinya negara sempalan yang bernama "Republik Somaliland" di Somalia utara.

2) Somali Salvation Democratic Front (SSDF, Front Demokratik Keselamatan Somalia), menguasai wilayah sebelah timur Somaliland dan mendeklarasikan berdirinya negara "Puntland".

3) Somali National Front (SNF, Front Nasional Somalia), kelompok bekas pasukan rezim Barre, menguasai daerah ujung Somalia dan mendeklarasikan negara "Jubaland".

4) United Somali Congress (USC, Dewan Somalia Bersatu), menguasai ibukota Somalia di Mogadishu dan beberapa wilayah Somalia tenggara.

5) Transitional Federal Government (TFG, Pemerintahan Federal Transisi), kelompok yang didirikan oleh panglima perang dan beraliansi dengan para pemimpin kelompok bersenjata Somalia berhasil membentuk pemerintahan sementara negara Somalia yang mendapat pengakuan internasional.

6) Islamic Courts Union (ICU, Uni Pengadilan Islam), kelompok hasil peleburan dari 11 kelompok Islamis lokal yang menguasai daerah selatan Somalia.

Perang antarsempalan negara dan kelompok-kelompok militer tersebut diperparah dengan keterlibatan negara lain yang menerjunkan pasukan untuk menangkal peperangan yang merembet ke negaranya, di antaranya adalah negara Kenya dan negara Ethiopia yang beraliansi dengan TFG. Pasukan perdamaian PBB maupun pasukan perdamaian yang dibentuk oleh Afrika yang disebut An African union Mission in Somali (AMISOM) pun belum mampu menyelesaikan perang sipil yang terjadi di Somalia. Sedangkan korban terus berjatuhan akibat perang, kelaparan, dan penyakit akibat buruknya kondisi di Somalia.

d. Konflik Afrika Tengah

Akibat perang: kelaparan dan hilangnya masa depan

Republik Afrika Tengah merupakan sebuah negara yang terletak di tengah benua Afrika. Negara Republik Afrika Tengah dipimpin oleh presiden Francois Bozize yang berhasil memerintah Afrika Tengah sejak tahun 2003 melalui kudeta militer. Naiknya Bozize menjadi penguasa Afrika Tengah, memunculkan respons ketidakpuasan dan pemberontakan dari telompok-kelompok kontra-pemerintah. Munculnya kelompok-kelompok kontra-pemerintah tersebut, juga dilatarbelakangi atas ketidakpuasan mereka atas isu praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) serta tindakan ekploitasi tambang berlian di Afrika Tengah untuk kepentingan Bozize sendiri.

Beberapa kelompok yang melakukan pemberontakan terhadap rezim Bozize di antaranya adalah Union des Forces Democratiques pour le Rassemblement (UFDR, Persatuan Pasukan Perdamaian untuk Kesatuan) yang berasal dari etnis Ronga dan Convention of Patriots for Justice and Peace (CPJP, Konvensi Patriot untuk Keadilan dan Perdamaian yang berasal dari etnis Goula). Aksi pemberontakan kelompok tersebut, kemudian direspons oleh rezim Bozize dengan mengerahkan pasukan militer dan meletuslah "Perang Belukar Afrika Tengah".

Perang Belukar akhirnya berhenti pada tahun 2007 dengan perjanjian damai di kota Birao antara pihak pemerintah Afrika Tengah dengan pemberontak. Dalam perjanjian damai tersebut, disepakati bahwa persenjataan pemberontak harus diserahkan kepada pemerintah dan bekas pasukan pemberontak akan dilebur menjadi tentara resmi negara Afrika Tengah. Namun pemerintah dianggap telah mengingkari poin kesepakatan perjanjian damai karena tidak kunjung mewujudkan perekrutan bekas pasukan pemberontak menjadi tentara Afrika Tengah.

Pada tahun 2012, muncullah kelompok pemberontak baru bernama Convention Patriotique pour le Salut du Kodro (CPSK, Rapat Patriotik untuk Menyelamatkan Negara) akibat kekecewaannya terhadap rezim Bozize. Kelompok pemberontak CPSK tersebut kemudian membentuk aliansi dengan kelompok pemberontak sebelumnya UFDR dan CPJP dan terbentuklah "Seleka (aliansi) CPSK-CPJP- UFDR", Pasukan pemberontak Seleka semakin diuntungkan dengan masuknya persenjataan ke Afrika Tengah dari negara-negara disekitarnya yang juga sedang dilkalian konflik seperti Kongo dan Sudan.

Lahirnya pemberontak Seleka, menjadi pemicu perang sipil di Afrika Tengah yang berakibat pada krisis perkembangan sosial politik di negara tersebut. Seleka memulai aksi pemberontakannya sejak Desember 2012 dengan berturut- turut menyerang dan menguasai kota-kota strategis di Afrika Selatan. Rezim Bozize yang sudah kewalahan, kemudian meminta bantuan pasukan dari negara- negara asing. Pada akhir tahun 2012 berbagai negara ikut terlibat dan mengirimkan pasukan ke Afrika Tengah, di antaranya negara Chad dan Perancis. Pada Januari 2013, masuk pula bantuan pasukan dari Kamerun, Gabon, Kongo, dan Afrika Selatan ke dalam ibukota Afrika Tengah.

Pada bulan Januari 2013 itu juga diputuskanlah untuk melakukan gencatan senjata akibat semakin kompleksnya konflik dan beratnya medan pertempuran. Perjanjian damai ditkaliantangi di Libreville, Gabon dengan poin penting bahwa pasukan Seleka harus direkrut menjadi tentara negara Afrika Tengah dan presiden Bozize harus mengundurkan diri dari presiden Afrika Tengah, serta segera diadakannya pemilu legislatif baru. Setelah perjanjian damai berhasil diwujudkan, muncul konflik kembali dari internal Seleka untuk memutuskan pemimpin baru bagi Afrika Tengah. Hingga saat inipun negara Afrika Tengah masih dilkalian konflik akibat perebutan kekuasaan dan SARA.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Konflik di Afrika"

Post a Comment