Kebijakan Soeharto Untuk Memperkuat Pemerintahan dan Krisis Multidimensional
Kebijakan Soeharto Untuk Memperkuat Pemerintahan dan Krisis Multidimensional
A. Berbagai kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah Soeharto untuk memperkuat kedudukan negara
1. Dwi Fungsi ABRI
Melalui keputusan sidang umum MPR, ditetapkan secara resmi Dwi Fungsi ABRI sebagai peran ABRI dalam pembangunan bangsa. Dwi Fungsi adalah suatu doktrin di lingkungan militer Indonesia yang menyebutkan bahwa TNI memiliki dua tugas, yaitu menjaga keamanan dan ketertiban negara serta memegang kekuasaan dan mengatur negara. Dengan peran ganda ini, militer di izinkan untuk memegang posisi di dalam pemerintahan. Konsep Dwi Fungsi TNI pertama kali muncul pada tahun 1958 yang memberikan peluang bagi peranan terbatas TNI didalam pemerintahan sipil.
Pada masa pemerintahan Soeharto, konsep ini mengalami perubahan dan menjadikan TNI secara organisatoris (bukan perseorangan) menduduki jabatan-jabatan strategis di lingkungan pemerintahan seperti menteri, gubernur, bupati, serta lembaga-lembaga legislatif dalam wadah Fraksi ABRI/TNI. Melalui konsep Dwi Fungsi, ABRI merupakan kekuatan signifikan dalam percaturan politik Indonesia. Dengan memakai konsep Dwi Fungsi, kekuatan sosial politik ABRI merambah berbagai sektor kehidupan masyarakat. Misalnya, di bidang birokrasi, dominasi militer terlibat dari pengisian jabatan-jabatan di pemerintahan yang diisi oleh perwira militer atau penunjukan perwira militer aktif menjadi anggota MPR. Dengan memanfaatkan Dwi Fungsi ABRI ini, Orde Baru telah berhasil melegitimasi kekuasaan.
Dampak negatif Dwi Fungsi adalah penerapan pendekatan keamanan dalam menyelesaikan masalah pembangunan. Kebijakan tersebut menimbulkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di kalangan rakyat yang bersengketa dengan pemerintah. Misalnya, terjadinya kasus Kedungombo di Jawa Tengah, kasus Way Jepara di Lampung, penembakan oleh aparat di Waduk Nipah, Madura, dan kasus 27 Juli 1996.
2. Konsep Massa Mengambang
Didalam bidang politik dalam negeri, beberapa langkah penting juga di ambil oleh Pemerintah Orde Baru, seperti memberlakukan konsep massa mengambang (floating muss) sebagai dasar pembangunan politik di daerah pedesaan, penyederhanaan jumlah partai politik di Indonesia, dan memberlakukan Pancasila sebagai asas tunggal bagi seluruh partai politik (parpol) dan organisasi massa (ormas) yang ada di Indonesia.
Dalam konsep massa mengambang, rakyat secara luas di pisahkan dari kehidupan politik. Partai-partai politik dibatasi ruang gerak dan aktifitasnya karena partai dilarang mendirikan perwakilan di tingkat desa sehingga ikatan antara partai dan massa sangat terbatas. Hubungan antara partai politik dan massa rakyat hanya berlangsung pada Pemilu. Namun, ketentuan tersebut tidak berlaku untuk Golkar yang dikategorikan sebagai nonpartai. Melalui aparat desa yang menjadi kadernya, Golkar aktif melakukan penggalangan massa.
3. Korporatisasi Negara
Stabilitas menjadi unsur penting dalam melaksanakan pembangunan. Untuk itu, pemerintah Orde Baru berusaha menciptakan stabilitas dengan berusaha mengendalikan lawan-lawan politiknya. Aparatur negara harus benar-benar setia dan patuh pada pemerintahan yang berkuasa yang dikamuflasekan sebagai penjelmaan dan atas nama rakyat. Untuk itu, lahir organisasi Korpri (Korps Pegawai Republik Indonesia) untuk wadah para pegawai pemerintah.
Pemerintah juga membentuk berbagai organisasi untuk berbagai profesi, kelompok masyarakat, dan mahasiswa. Muncul organisasi SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia) untuk buruh, PGRI ( Persatuan Guru Indonesia) untuk guru, KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia) untuk para pemuda, PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) untuk para wartawan, dan masih banyak lagi.
Semua organisasi sosial kemasyarakatan itu, sayangnya arah pembentukanya hanya ditunjukan untuk melanggengkan kekuasaan pemerintah. Caranya pada setiap pelakasanaan pemilu mereka diarahkan dan diwajubkan untuk memilih Golkar dan tidak diberi kebebasan untuk memilih.
4. Sentralisasi Pemerintahan
Melalui UU No 5/1974 dan UU No. 5/1979 disusun struktur pemerintahan daerah dan desa yang memperkuat kedudukan pemerintah. Pemerintah Orde Baru sangat sentralistik sifatnya sehingga semua kebijakan ditentukan dari pusat. Oleh karena itu, peranan pemerintah pusat sangat menentukan dan pemerintahan daerah hanya sebagai kepanjangan tangan pemerintahan pusat. Misalnya, dalam bidang ekonomi, semua kekayaan daerah dan pemanfaatan potensi ekonomi daerah dikuasai oleh pemerintah pusat sehingga pemerintah daerah tidak dapat mengembangkan daerahnya. Akibatnya, terjadilah ketimpangan ekonomi antara pusat dan daerah.
5. Program Bantuan Luar Negeri
Pada tahun 1967 kelompok negara-negara Barat, AS, dan Jepang membentuk Lembaga internasional pemberi pinjaman luar negeri untuk Indonesia atau Inter-Governmental Group for Indonesia (IGGI). Melalui Lembaga IGGI tersebut pemerintah telah berhasil mengusahakan bantuan luar negeri, di samping mengadakan penangguhan dan peringanan syarat-syarat pembayaran Kembali (rescheduling) utang-utang peninggalan Orde Lama. Bantuan kredit yang didapat adalah untuk tahun 1967 sebesar 210 juta dolar AS, untuk tahun 1968 sebesar 325 juta dolar AS, dan untuk tahun 1969 sebesar 500 juta dolar AS. Di samping itu, pemerintah juga menjadi anggaota badan-badan ekonomi internasional seperti International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) atau World Bank, International Monetery Fund (IMF), International Development Agency (IDA), dan Asian Development Bank (ADB).
Dari Lembaga-lembaga internasional ini Indonesia mendapat bantuan kredit, tenaga agli, dan rekomendasi untuk menghadapi negara-negara kreditor. Pinjaman luar negeri tersebut digunakan untuk membuiayai anggaran belanja pembangunan karena menurut pemerintah, pembangunan tidak dapat seluruhnya dibiayai oleh sumber dana dalam negeri. Menurut P. Simanjuntak, sampai bulan Februari 1998, utang luar negeri pemerintah Indonesia telah mencapai 73 miliar dolar AS.
6. Sistem Semi Perwakilan
Dalam bidang politik, penerapan system kepartaian yang mengacu pada UU No.3 Tahun 1985 diyakini telah menghasilkan kestabilan politik yang dicita-citakan sejak awal Orde Baru. Namun, system tersebut memperlihatkan keterbatasan dalam menampung aspirasi masyarakat yang lebih luas dan terus berkembang. Menurut Marbun, ketiga parpol yaitu PDI, PPP, dan Golkar kurang berhasil dalam menjalankan fungsi mereka sebagai control terhadap kebijakan pemerintah karena tidak memiliki kemandirian. Ketidakmandirian ini tampak pada ketergantungan ketiga orsospol kepada subsidi dana dan rekomendasi dari pemerintah.
Di samping itu, PPP dan PDI juga menghadapi masalah adanya perlakuan istimewa pemerintah terhadap Golkar. Keterbatasan system kepartaian ini mengakibatkan berbagai kelemahan dalam sistem demokrasi eprwakilan. Hal ini tercermin dengan munculnya berbagai kasus unjuk rasa oetani, buruh, dan masyarakat lainnya yang tidak perlu terjadi seandainya lembaga perwakilan pemerintah telah berfungsi secara baik. Ketidakberhasilan ini juga terlihat dari fakta bahwa sejak DPR hasil Pemilu 1971 tidak satupun rancangan undang-undang (RUU) yang dihasilkan atas usul inisiatif DPR. masyarakat juga belum menyaksikan bagaimana hak-hak dewan yang lain, seperti hak interpelasi (meminta keterangan) dan hak angket (penyeldidikan) dimanfaatkan secara optimal oleh para anggata dewan tersebut.
Dampak Menguatnya Peran Negara pada masa Pemerintahan Orde Baru
1. Dampak dalam Bidang Politik
a. Adanya Pemerintahan yang Otoriter
b. Presiden mempunyai kekuasaan yang sangat besar dalam mengatur jalannya pemerintahan.
c. Dominasi Golkar
Golkar merupakan mesin politik Orde Baru yang paling diandalkan dalam menjadi satu-satunya kekuatan politik di Indonesia yang paling dominan.
d. Pemerintahan yang Sentralistis
Menguatnya peran negara juga menyebabkan timbulnya gaya pemerintahan yang sentralistis yang ditandai dengan adanya pemusatan penentuan kebijakan publik pada pemerintah pusat. Pemerintah daerah hanya diberi peluang yang sangat kecil untuk mengatur pemerintahan dan mengelola anggaran daerahnya sendiri.
2. Dampak dalam Bidang Ekonomi
a. Munculnya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
b. Adanya Kesenjangan Ekonomi dan Sosial
Pertumbuhan ekonomi tidak dibarengi dengan terbukanya akses dan distribusi yang merata sumber-sumber ekonomi kepada masyarakat. Hal ini mengakibatkan kesenjangan sosial di masyarakat.
c. Konglomerasi
Pola dan kebijakan perekonomian yang ditempuh pemerintah Orde Baru berdampak pada munculnya konglomerasi di seluruh sektor usaha di Indonesia. Pemerintahan Orde Baru pada awalnya memperkirakan bahwa konglomerasi ini akan menjadi penggerak ekonomi nasional, namun pada kenyataannya pada konglomerat lebih mementingkan bisnisnya daripada Negara
B. Terjadinya Krisis Multidimensional
1. Krisis Politik
Krisis politik yang terjadi pada tahun 1998 merupakan puncak dari berbagai kebijakan politik pemerintahan Orde Baru. Berbagai kebijakan politik yang dikeluarkan pemerintahan Orde Baru selalu dengan alasan dalam kerangka pelaksanaan demokrasi Pancasila. Namun yang sebenarnya terjadi adalah dalam rangka mempertahankan kekuasaan Presiden Suharto dan kroni-kroninya. Artinya, demokrasi yang dilaksanakan pemerintahan Orde Baru bukan demokrasi yang semestinya, melainkan demokrasi rekayasa. Dengan demikian, yang terjadi bukan demokrasi yang berarti dari, oleh, dan untuk rakyat, melainkan demokrasi yang berarti dari, oleh, dan untuk penguasa. Pada masa Orde Baru, kehidupan politik sangat represif, yaitu adanya tekanan yang kuat dari pemerintah terhadap pihak oposisi atau orang-orang yang berpikir kritis. Ciri-ciri kehidupan politik yang represif, di antaranya:
a. Setiap orang atau kelompok yang mengkritik kebijakan pemerintah dituduh sebagai tindakan subversif (menentang Negara Kesatuan Republik Indonesia).
b. Pelaksanaan Lima Paket UU Politik yang melahirkan demokrasi semu atau demokrasi rekayasa.
c. Terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang merajalela dan masyarakat tidak memiliki kebebasan untuk mengontrolnya.
d. Pelaksanaan Dwi Fungsi ABRI yang memasung kebebasan setiap warga negara (sipil) untuk ikut berpartisipasi dalam pemerintahan.
e. Terciptanya masa kekuasaan presiden yang tak terbatas. Meskipun Suharto dipilih menjadi presiden melalui Sidang Umum MPR, tetapipemilihan itu merupakan hasil rekayasa dan tidak demokratis.
2. Krisis Ekonomi
Krisis moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara sejak Juli 1996 mempengaruhi perkembangan perekonomian Indonesia. Ternyata, ekonomi Indonesia tidak mampu menghadapi krisis global yang melanda dunia. Krisis ekonomi Indonesia diawali dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. Pada tanggal 1 Agustus 1997, nilai tukar rupiah turun dari Rp 2,575.00 menjadi Rp 2,603.00 per dollar Amerika Serikat. Pada bulan Desember 1997, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat turun menjadi Rp 5,000.00 per dollar. Bahkan, pada bulan Maret 1998, nilai tukar rupiah terus melemah dan mencapai titik terendah, yaitu Rp 16,000.00 per dollar Krisis ekonomi yang melanda Indonesia tidak dapat dipisahkan dari berbagai kondisi, seperti: 1)Hutang luar negeri Indonesia yang sangat besar menjadi penyebab terjadinya krisis ekonomi. Meskipun, hutang itu bukan sepenuhnya hutang negara, tetapi sangat besar pengaruhnya terhadap upaya-upaya untuk mengatasi krisis ekonomi.
Krisis ekonomi tersebut ditandai dengan:
a. kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat melemah,
b. pemerintah melikuidasi enam belas bank bermasalah pada akhir 1997,
c. pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang mengawasi empat puluh bank bermasalah lainnya,
d. perusahaan milik negara dan swasta banyak yang tidak dapat membayar utang luar negeri yang telah jatuh tempo,
e. angka pemutusan hubungan kerja (PHK) meningkat karena banyak perusahaan yang melakukan efisiensi atau menghentikan kegiatannya sama sekali, dan persediaan sembilan bahan pokok di pasaran mulai menipis pada akhir tahun 1997. Akibatnya harga-harga barang naik tidak terkendali dan hal itu berarti biaya hidup juga makin tinggi.
3. Krisis Hukum
Rekayasa-rekayasa yang dibangun pemerintahan Orde Baru tidak terbatas pada bidang politik. Dalam bidang hukumpun, pemerintah melakukan intervensi. Artinya, kekuasaan peradilan harus dilaksanakan untuk melayani kepentingan para penguasa dan bukan untuk melayani masyarakat dengan penuh keadilan. Bahkan, hukum sering dijadikan alat pembenaran para penguasa. Kenyataan itu bertentangan dengan ketentuan pasa 24 UUD 1945 yang menyatakan bahwa kehakiman memiliki kekuasaan yang merdeka dan terlepas dari kekuasaan pemerintah (eksekutif).
Krisis hukum pada masa Orde Baru juga tercermin dari berbagai praktik pelanggaran HAM. Pelanggaran HAM tersebut seperti pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh, penumpasan Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Papua, terjadinya kasus Marsinah, dan penculikan aktivis mahasiswa reformasi. Kasus pelanggaran HAM antara lain berupa pembunuhan, penculikan, penyiksaan, dan penghilangan secara paksa. Pelanggaran tersebut merupakan dampak pendekatan keamanan yang dilakukan ABRI dalam menyelesaikan masalah-masalah pembangunan.
4. Krisis Sosial
Krisis politik, hukum dan ekonomi merupakan penyebab terjadinya krisis sosial. Pelaksanaan politik yang represif dan tidak demokratis menyebabkan terjadinya konflik politik maupun konflik antar etnis dan agama. Semua itu berakhir pada meletusnya berbagai kerusuhan di beberapa daerah, khususnya kerusuhan-kerusuhan anti-Cina di sejumlah kota di Indonesia. Kelompok Cina/Tionghoa merupakan sasaran kemarahan masyarakat. Hal itu karena kelompok Cina/Tionghoa mendominasi perekonomian di Indonesia. Badai krisis ekonomi makin menjalar dalam bentuk gejolak-gejolak non-ekonomi.. Ketimpangan perekonomian Indonesia memberikan sumbangan terbesar terhadap krisis sosial. Pengangguran, persediaan sembako yang terbatas, tingginya harga-harga sembako, rendahnya daya beli masyarakat merupakan faktor-faktor yang rentan terhadap krisis sosial.
5. Krisis Kepercayaan
Krisis multidimensional yang melanda bangsa Indonesia telah mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan Presiden Suharto. Ketidakmampuan pemerintah dalam membangun kehidupan politik yang demokratis, menegakkan pelaksanaan hukum dan sistem peradilan, dan pelaksanaan pembangunan ekonomi yang berpihak kepada rakyat banyak telah melahirkan krisis kepercayaan. Krisis ini akhirnya berujung pada diturunkannya Soeharto dari kursi kepresidenan yang juga merupakan tanda berakhirnya Orde Baru.
0 Response to "Kebijakan Soeharto Untuk Memperkuat Pemerintahan dan Krisis Multidimensional"
Post a Comment