Pengaruh Budaya Hindu Budha di Indonesia

PENGARUH BUDAYA HINDU BUDHA DI INDONESIA

a. Jaringan Perdagangan dan Pelayaran 

Sebagai bangsa Austronesia yang hidup diwilayah lautan selatan, bangsa Indonesia telah memiliki sejarah yang panjang sebagai negara maritim. Kemaritiman bangsa Indonesia dapat kita telusuri sejarahnya sejak jaman praaksara, namun mulai jaman Hindu Buddha jejak jejak kemaritiman ini dapat kita temui dalam bentuk relief gambar maupun tulisan yang terpahat dalam prasasti. Seperti contoh diatas ini adalah relief kapal yang terpahat di candi Borrobudur yang dibangun sekitar abad ke 9. 

Salah satu Sumber sejarah mengenai penggunaan perahu atau kapal sebagai alat transportasi dan pengangkutan adalah dari prasasti kamalagyan (1037 M) dan prasasti Pinambangan ( 903 M) yang diterbitkan oleh Mpu Sindok dari kerajaan Mataram. Dalam prasati itu disebutkan kata Masunghara yang digunakan untuk menyebut perahu, ada juga yang menggunakan istilah Lancang untuk menunjuk kata perahu seperti yang ditulis dalam prasasti Mananjung yang ditemukan di daerah Malang. 

Kata Lancang sering dikaitkan dengan kata Lamchara yang menunjukkan sejenis kapal dagang lintas laut yang diperkitakan memiliki kapasitas angkut hingga 150 ton. Gambaran ini sesuai dengan relief yang dipahatkan didinding Borrobudur yang menunjukkan gambaran bahwa pada masa ini telah berkembang teknik pembuatan kapal yang sudah sangat pesat sehingga dapat kita simpulkan bahwa pada abad ke 9 M pelayaran di Indonesia ( khusunya Mataram ) Sudah sangat Maju. 

Jalur-jalur perdagangan yang berkembang di Nusantara sangat ditentukan oleh kepentingan ekonomi, pada perkembangan rute perdagangan dalam setiap masa yang berbeda-beda. Jika pada masa praaksara hegemoni budaya dominan datang dari pendukung budaya Austronesia di Asia Tenggara Daratan, maka pada masa perkembangan Hindu-Buddha di Nusantara terdapat dua kekuatan peradaban besar, yaitu Cina di utara dan India di bagian barat daya. Keduanya merupakan dua kekuatan super power pada masanya dan mempunyai pengaruh amat besar terhadap penduduk di Kepulauan Indonesia. 

Kapal Dagang Belanda di Teluk Table di dermaga Tanjung Koloni di Tanjung Harapan

Bagaimanapun, peralihan rute perdagangan dunia ini telah membawa berkah tersendiri bagi masyarakat dan suku bangsa di Nusantara. Mereka secara langsung terintegrasi ke dalam jaringan perdagangan dunia pada masa itu. Selat Malaka menjadi penting sebagai pintu gerbang yang menghubungkan antara pedagang-pedagang Cina dan pedagang-pedagang India. Pada masa itu, Selat Malaka merupakan jalur penting dalam pelayaran dan perdagangan bagi pedagang yang melintasi bandar-bandar penting di sekitar Samudra Indonesia dan Teluk Persia. Selat itu merupakan jalan laut yang menghubungkan Arab dan India di sebelah barat laut Nusantara, dan dengan Cina di sebelah timur laut Nusantara. 

Jalur ini merupakan pintu gerbang pelayaran yang dikenal dengan nama “jalur sutra”. Penamaan ini digunakan sejak abad ke-1 M hingga abad ke-16 M, dengan komoditas kain sutera yang dibawa dari Cina untuk diperdagangkan di wilayah lain. Ramainya rute pelayaran ini mendorong timbulnya bandar-bandar penting di sekitar jalur, antara lain Samudra Pasai, Malaka, dan Kota Cina (Sumatra Utara sekarang). Pusat-pusat integrasi Nusantara berlangsung melalui penguasaan laut. Pusat-pusat integrasi itu selanjutnya ditentukan oleh keahlian dan kepedulian terhadap laut, sehingga terjadi perkembangan baru, setidaknya dalam dua hal, yaitu: 

1. Pertumbuhan jalur perdagangan yang melewati lokasi-lokasi strategis di pinggir pantai 

2. Kemampuan mengendalikan (kontrol) politik dan militer para penguasa tradisional (raja-raja) dalam menguasai jalur utama dan pusat-pusat perdagangan di Nusantara. 

Jadi, prasyarat untuk dapat menguasai jalur dan pusat perdagangan ditentukan oleh dua hal penting yaitu perhatian atau cara pandang, dan kemampuan menguasai lautan.

Kehidupan penduduk di sepanjang Selat Malaka menjadi lebih sejahtera oleh proses integrasi perdagangan dunia yang melalui jalur laut tersebut. Mereka menjadi lebih terbuka secara sosial ekonomi untuk menjalin hubungan niaga dengan pedagang-pedagang asing yang melewati jalur itu. 

Di samping itu, masyarakat setempat juga semakin terbuka oleh pengaruh-pengaruh budaya luar. Kebudayaan India dan Cina ketika itu jelas sangat berpengaruh terhadap masyarakat di sekitar Selat Malaka. Bahkan sampai saat ini pengaruh budaya terutama India masih dapat kita jumpai pada masyarakat sekitar Selat Malaka. Selama masa Hindu-Buddha di samping kian terbukanya jalur niaga Selat Malaka dengan perdagangan dunia internasional, jaringan perdagangan dan budaya antarbangsa dan penduduk di Kepulauan Indonesia juga berkembang pesat terutama karena terhubung oleh jaringan Laut Jawa hingga Kepulauan Maluku. 

Mereka secara tidak langsung juga terintegrasikan dengan jaringan ekonomi dunia yang berpusat di sekitar Selat Malaka, dan sebagian di pantai barat Sumatra seperti Barus. Komoditas penting yang menjadi barang perdagangan pada saat itu adalah rempah-rempah, seperti kayu manis, cengkih, dan pala. 

Pertumbuhan jaringan dagang internasional dan antarpulau telah melahirkan kekuatan politik baru di Nusantara. Peta politik di Jawa dan Sumatra abad ke-7, seperti ditunjukkan oleh D.G.E. Hall, bersumber dari catatan pengunjung Cina yang datang ke Sumatra. Dua negara di Sumatra disebutkan, Mo-lo-yeu (Melayu) di pantai timur, tepatnya di Jambi sekarang di muara Sungai Batanghari. Agak ke selatan dari itu terdapat Che-li-fo-che, pengucapan cara Cina untuk kata bahasa sanskerta, Sriwijaya. 

Di Jawa terdapat tiga kerajaan utama, yaitu di ujung barat Jawa, terdapat Tarumanegara, dengan rajanya yang terkemuka Purnawarman, di Jawa bagian tengah ada Ho-ling (Kalingga), dan di Jawa bagian timur ada Singhasari dan Majapahit. Selama periode Hindhu-Buddha, kekuatan besar Nusantara yang memiliki kekuatan integrasi secara politik, sejauh ini dihubungkan dengan kebesaran Kerajaan Sriwijaya, Singhasari, dan Majapahit. 

Kekuatan integrasi secara politik di sini maksudnya adalah kemampuan kerajaan-kerajaan tradisional tersebut dalam menguasai wilayah-wilayah yang luas di Nusantara di bawah kontrol politik secara longgar dan menempatkan wilayah kekuasaannya itu sebagai kesatuan-kesatuan politik di bawah pengawasan dari kerajaan-kerajaan tersebut. Dengan demikian pengintegrasian antarpulau secara lambat laun mulai terbentuk. 

Kerajaan utama yang disebutkan di atas berkembang dalam periode yang berbeda-beda. Kekuasaan mereka mampu mengontrol sejumlah wilayah Nusantara melalui berbagai bentuk media. Selain dengan kekuatan dagang, politik, juga kekuatan budayanya, termasuk bahasa. Interelasi antara aspek-aspek kekuatan tersebut yang membuat mereka berhasil mengintegrasikan Nusantara dalam pelukan kekuasaannya. Kerajaan-kerajaan tersebut berkembang menjadi kerajaan besar yang menjadi representasi pusat-pusat kekuasaan yang kuat dan mengontrol kerajaan-kerajaan yang lebih kecil di Nusantara. 

Hubungan pusat dan daerah hanya dapat berlangsung dalam bentuk hubungan hak dan kewajiban yang saling menguntungkan (mutual benefit). Keuntungan yang diperoleh dari pusat kekuasaan antara lain, berupa pengakuan simbolik seperti kesetiaan dan pembayaran upeti berupa barang-barang yang digunakan untuk kepentingan kerajaan, serta barang-barang yang dapat diperdagangkan dalam jaringan perdagangan internasional. Sebaliknya kerajaan-kerajaan kecil memperoleh perlindungan dan rasa aman, sekaligus kebanggaan atas hubungan tersebut. Jika pusat kekuasaan sudah tidak memiliki kemampuan dalam mengontrol dan melindungi daerah bawahannya, maka sering terjadi pembangkangan dan sejak itu kerajaan besar terancam disintegrasi. 

Kerajaan-kerajaan kecil lalu melepaskan diri dari ikatan politik dengan kerajaan-kerajaan besar lama dan beralih loyalitasnya dengan kerajaan lain yang memiliki kemampuan mengontrol dan lebih bisa melindungi kepentingan mereka. Sejarah Indonesia masa Hindu-Buddha ditandai oleh proses integrasi dan disintegrasi semacam itu. Namun secara keseluruhan proses integrasi yang lambat laun itu kian mantap dan kuat, sehingga kian mengukuhkan Nusantara sebagai negeri kepulauan yang dipersatukan oleh kekuatan politik dan perdagangan. 

Nah setelah kalian membaca uraian di atas, kalian dapat mulai melakukan penelitian tentang jenis jenis perahu / kapal yang berkembang mulai dari masa pra aksara hingga masa Hindu Buddha. Selanjutnya kalian bisa melakukan penelitian yang kedua adalah tentang bagaimana perkembangan teknik pembuatan kapal yang tentunya berasal dari masa sebelum abad ke-9.

b. Akulturasi Budaya 

Bangsa kita telah memiliki peradaban yang tinggi, yang dapat kita lihat dari berbagai peninggalan budaya. Salah satunya Punden Berundak-undak yang fungsinya sebagai tempat pemujaan roh nenek moyang. Punden berundak merupakan cikal bakal berdirinya sebuah candi yang merupakan sebuah percampuran budaya dengan masuknya agama hindu budha. Masuknya agama Hindu Budha diawalai dengan masuknya pedagang pedagang India dengan membawa seluruh akal budaya dan kepandaian mereka, maka terjadilah proses interaksi mereka dengan masyarakat di nusantara. 

Terjadinya akulturasi antara kebudayaan Indonesia dengan kebudayaan India adalah karena kebudayaan Hindu – Budha yang masuk ke Indonesia tidak diterima begitu saja oleh bangsa Indonesia. Hal ini disebabkan : 

1. Masyarakat Indonesia telah memiliki dasar dasar kebudayaan yang cukup tinggi, sehingga masuknya kebudayaan asing menambah perbendaharaan kebudayaan Indonesia. 

2. Masyarakat Indonesia memiliki kecakapan istimewa yang disebut local genius, yaitu kecakapan suatu bangsa untuk menerima unsur unsur tersebut sesuai kepribadiannya. 

Akulturasi kebudayaan adalah suatu proses percampuran antara unsur-unsur kebudayaan yang satu dengan kebudayaan yang lain, sehingga membentuk kebudayaan baru. Kebudayaan baru yang merupakan hasil percampuran itu masing-masing tidak kehilangan kepribadian/ciri khasnya. Oleh karena itu, untuk dapat berakulturasi, masing-masing kebudayaan harus seimbang. Begitu juga untuk kebudayaan Hindu-Buddha dari India dengan kebudayaan Indonesia asli. 

Contoh hasil akulturasi antara kebudayaan Hindu-Budha dengan kebudayaan asli Indonesia sebagai berikut : 

a. Seni Bangunan 

    1. Candi 

Candi adalah istilah dalam Bahasa Indonesia yang merujuk kepada sebuah bangunan keagamaan tempat ibadah peninggalan purbakala yang berasal dari peradaban Hindu-Buddha. Bangunan ini digunakan sebagai tempat pemujaan dewa-dewi ataupun memuliakan Buddha. Akan tetapi, istilah 'candi' tidak hanya digunakan oleh masyarakat untuk menyebut tempat ibadah saja, banyak situs-situs purbakala non-religius dari masa Hindu-Buddha Indonesia klasik, baik sebagai istana (kraton), pemandian (petirtaan), gapura, dan sebagainya, juga disebut dengan istilah candi. 

Candi merupakan bangunan replika tempat tinggal para dewa yang sebenarnya, yaitu Gunung Mahameru. Karena itu, seni arsitekturnya dihias dengan berbagai macam ukiran dan pahatan berupa pola hias yang disesuaikan dengan alam Gunung Mahameru. Candi-candi dan pesan yang disampaikan lewat arsitektur, relief, serta arca- arcanya tak pernah lepas dari unsur spiritualitas, daya cipta, dan keterampilan para pembuatnya. 

    2. Stupa 

Di India bangunan stupa digunakan sebagai makam, tempat penyimpanan abu jenazah kalangan bangsawan atau tokoh tertentu. Di kalangan Buddha, stupa menjadi tempat menyimpan relik Buddha sendiri. Setelah wafat lalu dikremasi, sisa pembakaran yang berupa kristal, disebut relik atau sarira disimpan dalam delapan stupa terpisah yang didirikan di India Utara. 

Dalam perkembangannya, stupa menjadi lambing Buddhisme itu sendiri. Semasa pemerintahan Ashoka, dibangun banyak stupa untuk menandakan kedudukan Buddha sebagai agama utama di India. Demikian pula di Asia Timur dan Asia Tenggara, stupa didirikan sebagai bukti pengakuan terhadap Buddhisme di wilayah yang bersangkutan. Bagi kita sekarang, stupa dapat menjadi petunjuk seberapa luas Buddhisme tersebar di suatu wilayah Sebagai lambang perjalanan sang Buddha mencapai nirwana, bangunan terdiri atas 3 bagian, yaitu andah, yanthra, dan cakra. Pembagian dan maknanya tidak jauh berbeda dengan candi. 

Bangunan stupa di Indonesia memiliki kekhasan tersendiri di banding di India maupu n Asia Timur, dimana banyak stupa yang berdiri sendiri sedangkan di Indonesia bangunan stupa menjadi bagian dari candi, seperti candi mendut dan candi Borobudur. 

    3. Arca 

Arca adalah patung yang dibuat dengan tujuan utama sebagai media keagamaan, yaitu sarana pemujaan terhadap Tuhan atau Dewa. Arca berbeda dengan patung pada umumnya, yang merupakan hasil seni yang dimaksudkan sebagai sebuah keindahan. Oleh karena itu, membuat arca tidaklah sesederhana membuat sebuah patung.

b. Seni Rupa 

Masuknya pengaruh India juga membawa perkembangan dalam bidang seni rupa, seni pahat dan seni ukir. Hal ini dapat dilihat pada relief atau seni ukir yang dipahatkan pada bagian dinding candi. Misalnya , relief yang dipahatkan pada dinding pagar langkan di candi Borobudur yang berupa pahatan riwayat sang Budha. Di sekitar sang Budha terdapat lingkungan alam Indonesia seperti rumah panggung dan burung merpati.

c. Seni Pertunjukan Wayang 

Wayang adalah salah satu unsur budaya asli Indonesia, sebelum datangnya budaya India ceritanya adalah cerita asli Indonesia dengan tokoh tokoh pewayangan yang sudah sangat dikenal masyarakat seperti Semar, Petruk, Gareng dan lain lain, Tokoh tokoh tersebut adalah hasil kreasi dari local genius masyarakat Indonesia dan dibuat untuk menambah rasa local dalam cerita pewayangan . Terutama di dalam pewayangan Jawa banyak sekali lakon yang sudah cukup akrab di telinga masyarakat Jawa. Sedangkan setelah masuknya budaya dari India ceritanya mengambil cerita India seperti Ramayana dan Mahabrata dengan tokoh Rama , Shinta, Gatotkaca , Bima, Basudewa dan lain lain. 

d. Sistem Pemerintahan 

Sebelum datangnya budaya India, sistem pemerintahan di Indonesia adalah pemerintahan dalam lingkup suku yang dikepalai oleh seorang kepala suku. Kehidupan manusia pada masa bercocok tanam mengalami peningkatan yang cukup pesat. Masyarakat telah memiliki tempat tinggal yang tetap. Dalam perkembangannya, pola hidup menetap telah membuat hubungan social masyarakat terjalin dan terorganisasi dengan lebih baik. 

Dalam masyarakat yang walaupun masih sangat sederhana ini dibutuhkan keberadaan keberadaan seorang pemimpin yang mengatur kehidupan Bersama yang telah tersusun, pemipin tersebut adalah seorang kepala Suku. Pemilihan kepala suku dilakukan dengan menggunakan sistem primus interpares yang utama diantara yang lain, syarat-syarat untuk menjadi kepala suku di antaranya harus memiliki kesaktian, kewibawaan, dan memiliki jiwa keperwiraan. Setelah datang budaya dari India kepala suku tersebut menjadi Raja dan terbentuklah sistem pemerintahan kerajaan. 

e. Sistem Kepercayaan 

Kepercayaan Hindu – Budha yang masuk ke Indonesia tidak persis sama seperti yang berkembang di India, melainkan kepercayaan tersebut berpadu dengan kepercayaan yang sudah berkembang sebelumnya di Indonesia salah satunya Animisme, seperti padawujud candi Borobudur , yaitu dengan meletakan stupa di puncak punden berundak undak yang dianggap sebagai tempat suci dalam sistem kepercayaan animisme. 

Di India, Raja adalah Raja yang memimpin dalam sebuah pemerintahan, namun raja raja di Indonesia Raja bukan hanya sekedar pemimpin dalam sebuah pemerintahan, melainkan raja raja di Indonesia juga dipandang seperti Dewa. Dewaraja adalah konsep Hindu-Buddha yang memuja dan menganggap raja memiliki sifat kedewaan, bentuk pemujaan ini berkembang di Asia Tenggara. 

Konsep ini terkait dengan sistem monarki yang menganggap raja memiliki sifat illahiah, sebagai dewa yang hidup di atas bumi, sebagai titisan dewa tertinggi, biasanya dikaitkan dengan Siwa atau Wishnu. Secara politik, gagasan ini dilihat sebagai suatu upaya pengesahan atau justifikasi kekuasaan raja dengan memanfaatkan sistem keagamaan. Konsep ini mencapai bentuk dan wujudnya yang paling canggih di Jawa dan Kamboja, dimana monumen-monumen agung seperti Prambanan dan Angkor Wat dibangun untuk memuliakan raja di atas bumi. 

Dalam bahasa Sanskerta istilah Dewa-Raja dapat bermakna "raja para dewa" atau "raja yang juga (titisan) dewa". Dalam masyarakat Hindu, jabatan dewa tertinggi biasanya disandang oleh Siwa, terkadang Wisnu, atau sebelumnya Indra. Kerajaan langit tempat para dewa bersemayam di swargaloka merupakan bayangan kerajaan fana di atas bumi, konsep ini memandang raja sebagai dewa yang hidup di muka bumi. 

Seperti isi Prasasti Ciaruteun berikut ini : “ Inilah tanda sepasang kaki seperti kaki Dewa Wisnu ( pemelihara ) ialah telapak yang mulia sang Purnawarman, raja di negeri Taruma , raja yang gagah berani di dunia “. Apa yang tergambar dalam prasasti dari Kerajaan Tarumanegara itu bukan satu-satunya yang menggambarkan penyebutan raja seperti dewa . Pada masa kuno, umum terjadi jika seorang pemimpin, yaitu raja, dipuja bagai penjelmaan dewa. Hal itu dikenal dengan konsep dewaraja atau raja suci, raja yang memiliki sifat keramat seperti dewa. 

f. Sistem Penanggalan 

Penggunaan Kalender Saka di Indonesia dimodifikasi dengan unsur unsur penaggalan lokal terutama di Jawa dan Bali,seperti penggunaan Candra Sangkala atau kronogram dalam memperingati sebuah Peristiwa. Candra Sangkala adalah tanda atau penulisan tahun dalam bentuk sandi ( perlambang ) biasanya diwujudkan dalam bentuk untaian kalimat agar mudah diingat. Berbagai peristiwa yang diberi sengkalan bermacam macam, diantaranya : berdirinya sebuah kerajaan, runtuhnya kerajaan, meninggalnya raja dari suatu kerajaan, tahun pembuatan karya sastra dll. 

Contoh : 

Tahun runtuhnya kerajaan Majapahit : Sirna Ilang Kertaning Bumi 

Sirna : 0 Ilang : 0 Kerta : 4 Bumi : 1 

Jadi angkanya : 0041 , membacanya dari belakang menjadi 1400 + 78 (tahun saka dimulai tahun 78 M) = 1478. 

g. Sistem Huruf 

Sebelum masuknya budaya dari India bangsa Indonesia belum mengenal tulisan (Sistem huruf) maka dikatakan masih berada pada jaman Pra Sejarah, masuknya budaya India membawa kepandaian menulis dan membawa bangsa Indonesia masuk ke dalam jaman Sejarah. Maka dalam unsur budaya menulis tidak terjadi proses akulturasi , karena bangsa Indonesia sebelumnya memang belum mengenal tulisan (system huruf). Sistem huruf yang diadopsi ini kemudian dikembangkan oleh bangsa Indonesia hingga melahirkan huruf jawa kuno, huruf Melayu Kuno dll.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Pengaruh Budaya Hindu Budha di Indonesia"

Post a Comment