Kerajaan Maritim Islam: Kerajaan Aceh

Kerajaan Maritim Islam: Kerajaan Aceh

Kerajaan Aceh merupakan kerajaan di kepulauan Indonesia yang besar karena adanya arus perdagangan laut Internasional, selain menjadi pelabuhan transit yang kemudian berkembang menjadi kota pelabuhan dan akhirnya kerajaan, Aceh juga merupakan daerah penghasil yang mengekstrak hasil bumi dari pedalaman Sumatera bagian utara. Aceh merupakan penghasil lada dalam jumlah yang besar, kebesaran Aceh juga ditopang oleh armada lautnya yang kuat sehingga mampu mendominasi selat malaka. 

Aceh didirikan oleh Raja pertamanya, Yaitu Ali Mughayat Syah (1514-1530 M). Bagaimana Aceh bisa mendapatkan kesempatan menjadi kerajaan besar, semua itu tidak terlepas dari peristiwa penaklukan Malaka oleh portugis 1511, yang membuat Aceh menjadi pelabuhan alternatif bagi para pedagang (khususnya) muslim yang enggan berbisnis di Malaka Portugis. Raja pengganti Ali Mughayat Syah adalah Salahudin yang menduduki tahta tidak lama dan digantikan Alaudin Riayat Syah Al-Kahar. 

Kehidupan politik pada masa Kerajaan Aceh diwarnai dengan adanya perebutan hegemoni di selat malaka antara 3 kekuatan besar, yaitu Aceh, Johor (dinasti Malaka yang digulingkan Portugis dan membuat kerajaan baru) serta Malaka-Portugis, sejak pertengahan abad 16 M, ketiga kekuatan tersebut seringkali terlibat peperangan dan saling menyerbu satu sama lain. Aceh sendiri merupakan kerajaan yang berhasil menguasai daerah sumatera bagian utara hingga sejauh pedalaman Batak di selatan Aceh, serta juga menguasai kota-kota pelabuhan lain di sepanjang pantai Utara dan Timur Sumatera (deli, Samudera, Pedir, Pasai) 

Penguasa terbesar dari kerajaan Aceh tidak lain adalah Sultan Iskandar Muda, yang menaiki tahta pada tahun 1607 hingga 1636, dan berhasil membentuk Aceh menjadi kekuatan paling besar di Kepulauan Indonesia bagian Barat. Kekuatan militernya terdiri dari kapal-kapal perang besar yang sanggup membawa 600-800 prajurit, kemudian terdapat pula pasukan berkuda, pasukan penunggang gajah, artileri dan pasukan infanteri yang berasal dari para milisi. 

Pasukan Iskandar muda mampu berkali-kali menyerang dan menghancurkan Johor di semenanjung Malaka, meskipun gagal menyerang Malaka Portugis pada tahun 1629. Daerah-daerah lain yang dia taklukan antara lain, Deli, Aru, Bintan Portugis, Pahang, Kedah, dan Nias. Meskipun para penguasa-penguasa kota pelabuhan lain bergabung dalam serangan ke aceh (Pahang, Palembang, Jambi, Indragiri, Kampar dan Siak serta Johor) namun tidak menghentikan Sultan Iskandar Muda dalam menegakkan hegemoni Aceh di Selat Malaka dan perairan Sumatera. 

a. Kehidupan Ekonomi Masyarakat di Kerajaan Aceh 

Peta Wilayah Kerajaan Aceh Abad 16-18 M

Kehidupan Politik dalam kerajaan Aceh ditunjang oleh banyaknya para bangsawan, atau disebut Orang Kaya, yang masing-masing memiliki kekuasaan atas sebuah wilayah/urusan tertentu. Baik atau tidaknya pemerintahan seorang Sultan di Aceh, tergantung dari seberapa mampu Sultan tersebut mengendalikan para orang kaya/kuat di aceh tersebut. Pada masa Iskandar Muda, dia berhasil membentuk sebuah kelas sosial baru yang terdiri dari para “panglima perang” (biasa disebut Hulubalang/uleebalang) dan mereka menguasai sebuah daerah/mukim berdasarkan garis keturunan feodal, kelas sosial ini mirip para bangsawan di Jawa ataupun Baron bila di Eropa. 

Pada masa Iskandar Muda, seluruh kelas sosial ini dipaksa untuk mendukung cita-cita raja, termasuk urusan misi penyerangan ke berbagai daerah yang memerlukan biaya dan tenaga yang tidak sedikit, ketika Iskandar Muda digantikan, para hulubalang ini tidak ingin hal tersebut terulang, maka banyak dari mereka berupaya untuk membatasi kekuasaan para raja pengganti Iskandar Muda. 

Kekuasaan Iskandar Muda digantikan oleh menantunya, yaitu Sultan Iskandar Tsani, yang memerintah tidak lama, yaitu sekitar 5 tahun (1536-1541) setelah wafatnya Iskandar Tsani, dia digantikan Jandanya, yaitu Ratu Tajjul Alam (1641-1675 M) yang diangkat oleh para Uleebalang untuk mencegah tidak munculnya lagi Raja yang kuat seperti Iskandar Muda, yang berarti membatasi kekuasaan para Uleebalang. Selepas wafatnya Ratu Tajul Alam, aceh berangsur-angsur melemah, kekuasaan Sultan kini hanya terbatas tembok Ibukota, para Uleebalang menjadi penguasa turun temurun di tanahnya beserta para penduduknya. Pada akhir abad ke 17 M, kekuasaan para Imam dan Ulama sangat berpengaruh di Ibukota maupun di daerah-daerah para Uleebalang. Dimana nanti kedua kelas sosial tersebut akan banyak terlibat pertentangan satu sama lain. 

Kehidupan ekonomi masyarakat Aceh adalah dalam bidang pelayaran dan perdagangan. Pada masa kejayaannya, perekonomian berkembang pesat. Penguasaan Aceh atas daerah-daerah pantai barat dan timur Sumatra banyak menghasilkan lada. Sementara itu, Semenanjung Malaka banyak menghasilkan lada dan timah. Hasil bumi dan alam menjadi bahan ekspor yang penting bagi Aceh, sehingga perekonomian Aceh maju dengan pesat. 

Bidang perdagangan yang maju menjadikan Aceh makin makmur. Setelah Sultan Ibrahim dapat menaklukkan Pedir yang kaya akan lada putih, Aceh makin bertambah makmur. Dengan kekayaan melimpah, Aceh mampu membangun angkatan bersenjata yang kuat. Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, Aceh mencapai puncak kejayaan. Dari daerah yang ditaklukkan didatangkan lada dan emas sehingga Aceh merupakan sumber komoditas lada dan emas. 

Kehidupan ekonomi di kerajaan Aceh bertumpu di bidang pelayaran dan perdagangan. Perekonomian Aceh tumbuh pesat, sebab letaknya strategis di Selat Malaka. Selain itu, semakin meluasnya pengaruh kerajaan Aceh dan hubungan-hubungan dengan pihak asing juga menjadi faktor perkembangan ekonomi yang semakin maju. 

Dibawah ini beberapa komoditas perdagangan Kerajaan Aceh, meliputi : 

  • Lada 
  • Emas 
  • Minyak Tanah 
  • Kapur 
  • Sutera 
  • Kapas 
  • Kapur barus 
  • Menyan 
  • Belerang

Selain itu, perekonomian di Ibukota kerajaan juga tumbuh pesat, dibuktikan dengan sudah adanya pengolahan bahan mentah menjadi barang jadi. Di bidang pertanian, daerah Pidie adalah lumbung bagi komoditas padi. Namun komoditas utama atau bisa dikatakan unggulan di kesultanan Aceh yang diekspor ke luar adalah lada. 

Dengan kemakmuran dan kemajuan dibidang perekonomian, kesultanan Aceh kemudian tumbuh menjadi kerajaan Islam besar yang diperkuat oleh armada bersenjata yang besar dan kuat, terutama armada lautnya.

b. Kehidupan budaya di Kerajaan Aceh 

Selain di bidang perekonomian, pengaruh letak yang strategis membuat kehidupan sosial budaya di kerajaan Aceh tumbuh pesat. Hal ini disebabkan karena interaksi dengan orang-orang luar seperti pedagang-pedagang dari Timur Tengah dan Eropa. 

Kehidupan sosial budaya dapat dilihat landasan hukum yang berlaku yang didasari dari ajaran Islam. Hukum adat ini disebut hukum adat Makuta Alam. Berdasarkan hukum ini, pengangkatan seorang sultan diatur dengan sedemikian rupa dengan melibatkan ulama dan perdana menteri. 

Sisa-sisa arsitektur bangunan peninggalan kesultanan Aceh keberadaannya tidak terlalu banyak, disebabkan karena sudah terbakar pada masa perang Aceh. Beberapa bangunan yang masih tersisa contohnya seperti Istana Dalam Darud Donya yang sekarang menjadi Pendopo Gubernur Aceh. 

Selain istana, beberapa peninggalan yang masih dapat kita lihat sampai sekarang seperti Masjid Tua Indrapuri, Benteng Indra Patra, Gunongan, Pinto Khop, dan kompleks pemakaman keluarga kesultanan Aceh.

Please wait 48 sec.


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kerajaan Maritim Islam: Kerajaan Aceh"

Post a Comment