Pertempuran Kotabaru di Yogyakarta Melawan Jepang

Pertempuran Kotabaru di Yogyakarta Melawan Jepang 

Perlawanan dimulai dengan perebutan senjata dan perkantoran yang dilakukan oleh kesatuan-kesatuan di Yogyakarta. Para pemuda, BKR, dan Peta terus melakukan tukar pendapat untuk melakukan perebutan kekuasaan terhadap Jepang. Beberapa tokoh pemuda Peta tersebut antara lain Sudarto, Syaifudin, Marsudi, Umar Slamet, Sunjoyo, dan Soeharto. Komandan penyerbuan dipimpin oleh Umar Slamet yang sebelumnya merupakan pimpinan TKR. 

Beberapa kantor dan jawatan telah berhasil dikuasai oleh pemuda dan rakyat Yogyakarta. Beberapa pabrik dan perusahaan yang berhasil direbut misalnya Jawatan Kehutanan, Pabrik Gula Tanjungtirto, Medari, Rewulu, Gondanglipuro, Sewugalur, dan Pabrik Salakan. Pada 27 September 1945, Komite Nasional Indonesia Daerah Yogyakarta mengumumkan bahwa seluruh kekuasaan pemerintah telah berada di tangan Republik Indonesia. 

Berkaitan dengan itu, pimpinan dan kantor-kantor penting harus berada di tangan orang Indonesia. Kepala daerah Yogyakarta yang dijabat oleh Jepang, yang disebut Cokan, harus meninggalkan kantornya di Jalan Malioboro. Termasuk juga para petinggi Jepang yang masih berada di Yogyakarta dan melakukan kegiatan pertahanan di markas Tentara Inti Jepang (Kidobutai). Di dalam markas ini terdapat gudang senjata dan terletak di sebelah timur Stadion Kridosono kini digunakan sebagai Asrama Komando Resort Militer (Korem) 072 Pamungkas. 

Sebelum menyerbu kawasan Kotabaru, kelompok-kelompok pemuda dari Kampung Pathuk, Jagalan, Jetis Utara, dan Gowongan mengadakan pertemuan pada 5 Oktober 1945. Mereka sepakat menyiapkan sejumlah rencana untuk menguasai markas Jepang. Pertama, para pemuda menunggu berita mengenai hasil perundingan dengan Jepang. Kedua, melucuti senjata Jepang dengan cara damai. Ketiga, menyerbu Kidobutai kalau perundingan gagal. 

Untuk penyerbuan, mereka berbagi tugas, mulai dari rencana penyerbuan, pengadaan persenjataan, persiapan pemuda yang akan melakukan serangan, hingga pimpinan penyerbuan dipegang masing-masing oleh satu orang. Setelah rencana dimatangkan, para pemuda segera menjalankan tugasnya hari itu juga. Untuk mencegah bantuan kepada Jepang yang datang dari luar, sambungan kawat telepon rumah para pembesar dan markas Jepang diputus, perjalanan kereta api diawasi, dan bila perlu dihentikan di perbatasan kota. 

Kelompok Pathuk memutus jaringan telepon dan aliran listrik (lewat gardu di sebelah timur Hotel Garuda) ke Kotabaru. Kelompok Pathuk juga mendapat informasi bahwa di salah satu menara Kantor Pos Besar terdapat 28 senjata beserta pelurunya. Dengan bantuan pejuang yang ada di Kantor Pos yang membuatkan duplikat kunci serta bantuan para sopir, kelompok Pathuk berhasil mengambil senjata tersebut. 

Akhirnya, pada 5 Oktober 1945, gedung Cokan Kantai berhasil direbut dan kemudian dijadikan sebagai Kantor Komite Nasional Indonesia Daerah. Gedung Cokan Kantai kemudian dikenal dengan Gedung Nasional atau Gedung Agung (sekarang Istana Negara). Satu hari setelah perebutan Gedung Cokan Kantai, para pejuang Yogyakarta ingin melakukan perebutan senjata dan markas Osha Butai di Kotabaru. Untuk itu, pada 6 Oktober 1945 diadakan perundingan antara pihak Indonesia dengan Jepang. 

Perundingan itu diadakan di dalam markas Osha Butai di Kotabaru. Hadir dari pihak Indonesia antara lain Mohammad Saleh (KNI) dengan didampingi Oemar Djoy, Soendjojo, R.P. Sudarsono, dan Bardosono atas nama BKR. Dari pihak Jepang diwakili antara lain oleh Butaico Mayor Otsuka, Kempetai Sasaki, serta Kapten Ito (Kiambuco). Sementara itu, sejak sore hari banyak rakyat dan pemuda yang hadir di sekitar markas Kotabaru. 

Dalam perundingan itu, utusan Indonesia mendesak agar Jepang secara sukarela menyerahkan senjata dan kekuasaannya. Mayor Otsuka dan tentara Jepang tetap bertahan. Mayor Otsuka kemudian menyatakan bahwa untuk menyerahkan senjata harus menunggu perintah dari Jenderal Nakamura di Magelang. Untuk itu, Jepang mengusulkan agar perundingan dilanjutkan esok hari sekitar pukul 10.00 WIB. Perundingan itu menemui jalan buntu. Dentuman granat kemudian terdengar pada pukul 20.00 WIB, memberi tanda bahwa perundingan akhirnya gagal Rakyat dan para pemuda terus mengepung markas Osha Butai di Kotabaru. Bahkan di kampung-kampung pada malam itu dilakukan persiapan pengerahan massa pemuda dengan suara siap-siap secara estafet. 

Dalam waktu singkat telah berkumpul banyak pemuda dan terus bergerak menuju Kotabaru. Rakyat dan para pemuda terdiri dari berbagai kesatuan, antara lain TKR, Polisi, dan BPU (Barisan Penjagaan Umum) yang sudah bertekad untuk menyerbu markas Jepang di Kotabaru. 

Rakyat dan Pemuda dengan senjata seperti parang dan bambu runcing sudah siap, tinggal menunggu komando. Selain itu, ada kekuatan inti yang menggunakan senjata api, yaitu pasukan Polisi yang dipimpin oleh Oni Satroatmojo dan pasukan TKR di bawah komando Soeharto. Sebagai bagian dari strategi penyerbuan, para pemuda telah memutuskan sambungan telepon, kemudian sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, sekitar pukul 03.00 WIB tanggal 7 Oktober 1945, terdengar lagi dentuman granat, menandakan aliran listrik pagar berduri yang mengelilingi markas Jepang sudah dipadamkan. 

Para pemuda segera menyerbu markas itu dan dimulailah pertempuran di Kotabaru. Dengan demikian, terjadilah pertempuran antara rakyat, pemuda, dan kesatuan di Yogyakarta melawan tentara Jepang. 

Mendengar bahwa rakyat melancarkan serangan di Kotabaru, maka Butaico Pingit segera menghubungi TKR dan menyatakan menyerah dengan syarat anak buahnya tidak disiksa. Hal ini diterima baik oleh TKR. Kemudian, TKR minta agar Butaico Pingit dapat memengaruhi Butaico Kotabaru agar menyerah. Ternyata, Butaico Kotabaru menolak untuk menyerah. Akibatnya, serangan para pejuang Indonesia semakin ditingkatkan. 

Jepang yang mulai kewalahan kemudian mengadakan kontak kepada pihak para pejuang Indonesia untuk berdamai. Para pejuang Indonesia boleh memasuki markas. Setelah pintu itu dibuka, para pemuda pejuang pun memasukinya. Ternyata, di tempat itu telah disambut tembakan gencar senapan mesin yang sudah disiapkan tentara Jepang sehingga banyak pejuang kita gugur. 

Dalam Penyerbuan Kotabaru tersebut, sebanyak 21 pejuang gugur dan sekitar 32 orang mengalami luka-luka. Sedangkan dari pihak tentara Jepang, 9 orang tewas dan 15 orang luka-luka. 

Mereka yang gugur adalah 

1) Sareh, 

2) Sadjiyono, 

3) Sabirin, 

4) Soenaryo, 

5) Soeroto, 

6) Soepadi, 

7) Soehodo, 

8) Soehartono, 

9) Trimo, 1

0). Mohammad Wardani, 

11) Atmosukarto, 

12) Ahmad Djazuli, 

13) Achmad Zakir, 

14) Abu Bakar Ali, 

15) Djoemadi, 

16) Djuhar Nurhadi, 

17) Faridan M. Noto, 

18) Hadi Darsono, 

19) I Dewa Nyoman Oka, 

20) Oemoem Kalipan, dan 

21) Bagong Ngadikan. 

Akhirnya, pada 7 Oktober 1945 sekitar pukul 10.00, markas Jepang (Butaico) Kotabaru secara resmi diserahkan ke tangan pejuang Yogyakarta. Setelah Butaico Kotabaru jatuh, usaha perebutan kekuasaan meluas. R.P. Sudarsono kemudian memimpin pelucutan senjata Kaigun di Maguwo. Dengan berakhirnya pertempuran Kotabaru dan dikuasainya Maguwo, maka Yogyakarta di bawah kekuasaan Republik Indonesia. 

Please wait 48 sec.


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Pertempuran Kotabaru di Yogyakarta Melawan Jepang "

Post a Comment