Perlawanan Terhadap Jepang

1. Perlawanan Terhadap Jepang Secara Kooperatif (kerjasama) 

Perjuangan secara kooperatif dilakukan oleh tokoh-tokoh nasionalis yang duduk di organisasi-organisasi bentukan Jepang. Melalui organisasi ini, mereka dengan rapi melakukan koordinasi-koordinasi agar rakyat bersatu untuk Indonesia merdeka. Dengan organisasi bentukan Jepang seperti Putera (Pusat Tenaga Rakyat), Sukarno, Hatta, Mas Mansur, dan Ki hadjar Dewantara membentuk empat serangkai untuk membangkitkan semangat nasionalisme bangsa Indonesia yang sempat luntur akibat tekanan dari kolonial Belanda. 

Sukarno dengan tidak ragu-ragu juga bekerja sama dengan Jepang agar perjuangan untuk Indonesia merdeka segera terwujud. Sikap Sukarno ini dimanfaatkan oleh pemerintah Jepang sebagai alat untuk memobilisasi rakyat karena Sukarno dianggap Jepang sebagai tokoh yang paling berpengaruh terhadap rakyat. Akhirnya, antara Sukarno dengan Jepang saling memanfaatkan. 

Sikap Sukarno itu pernah dikecam keras oleh tokoh nasionalis lainnya, misalnya ketika Sukarno mendukung penerapan romusha dan bahkan ikut terlibat memobilisasi rakyat agar ikut romusha yang mengakibatkan mereka mati kelaparan, menderita penyakit dan meninggal, serta ditembak Jepang karena lari dari romusha. Karena kecaman keras dari beberapa pihak, Sukarno pernah berujar, “Aku telah mengorbankan hidupku untuk tanah ini … tidak jadi soal kalau ada yang menyebutku kolaborator Jepang … halamanhalaman dari revolusi Indonesia akan ditulis dengan darah Sukarno …. Sejarahlah yang akan membersihkan namaku ….” 

Untuk kepentingan Indonesia merdeka, Sukarno juga terlibat dalam persiapan kemerdekaan seperti BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau Dokuritsu Junbi Coosakai dan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau Dokuritsu Junbi Inkai 

2. Perlawanan Terhadap Jepang Melalui bawah tanah 

Gerakan bawah tanah di Indonesia tidak seperti gerakan bawah tanah di Eropa yang mengangkat senjata secara sembunyi-sembunyi. Gerakan bawah tanah di Indonesia artinya perjuangan yang dilakukan secara tertutup dan rahasia. Mereka, di balik kepatuhan terhadap Jepang, tersembunyi kegiatan-kegiatan yang menggerakkan rakyat untuk Indonesia merdeka. Walaupun akhirnya gerakan mereka diketahui Jepang dan organisasi yang mereka jalankan dibubarkan, tetapi peranan mereka sangat penting bagi Indonesia merdeka. Untuk lebih jelasnya, berikut ulasan tokoh-tokoh yang melakukan perjuangan bawah tanah. 

a. Kelompok Sukarni 

Sukarni adalah tokoh pergerakan pada zaman kolonial Belanda. Pada zaman pendudukan Jepang, Sukarni bersama Muhammad Yamin bekerja di Sendenbu (Barisan Propaganda Jepang). Sukarni juga menghimpun tokoh-tokoh pergerakan seperti Adam Malik, Kusnaini, dan Pandu Wiguna untuk terus mengobarkan perjuangan dan menggelorakan paham nasionalisme. Untuk menyamarkan gerakannya, Sukarni mendirikan asrama politik yang diberi nama “Angkatan Baru Indonesia” sehingga dapat mengumpulkan tokoh-tokoh penting seperti Sukarno, Hatta, Ahmad Subarjo, dan Sunarya. Keempat tokoh itu bertugas mendidik para pemuda tentang politik dan pengetahuan umum. 

b. Kelompok Ahmad Subarjo 

Pada masa pendudukan Jepang, Ahmad Subarjo bertugas sebagai Kepala Biro Riset Kaigun Bukanfu (Kantor Penghubung Angkatan Laut) di Jakarta. Di samping bekerja di lembaga itu, Ahmad Subarjo menghimpun tokoh-tokoh pergerakan yang bekerja di angkatan laut Jepang dengan mendirikan asrama pemuda yang bernama “Asrama Indonesia Merdeka”. Di asrama itu, Ahmad Subarjo menanamkan jiwa nasionalisme di kalangan pemuda Indonesia. 

c. Kelompok Sutan Syahrir 

Sutan Syahrir sangat yakin bahwa Jepang tidak akan menang perang melawan Sekutu. Untuk itu, menurut Syahrir, Indonesia harus segera merebut kemerdekaan pada saat yang paling tepat. Syahrir membuat jaringan-jaringan para pemuda yang mempunyai semangat nasionalisme tinggi, yakni para mahasiswa progresif. Ketika mendengar lewat radio bahwa Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Syahrir beserta pemuda lainnya mendesak kepada Sukarno dan Hatta untuk memproklamasikan pada 15 Agustus 1945. Karena Sukarno belum mendengar secara langsung penyerahan Jepang, maka Sukarno belum merespons secara positif. Lagi pula, Sukarno yang saat itu sebagai ketua PPKI dalam membuat keputusan harus sesuai prosedur, yakni adanya kesepakatan dari para anggota untuk Indonesia merdeka. 

3. Perlawanan Terhadap Jepang Melalui Bersenjata 

Selain perlawanan dengan cara kooperatif dan gerakan bawah tanah, para tokoh pergerakan juga melakukan perlawanan dengan cara mengangkat senjata. Berikut tokoh-tokoh yang melakukan perlawanan secara fisik. 

a. Perlawanan Rakyat Desa Sukamanah di Tasikmalaya 

Perlawanan ini diawali dengan penolakan para santri di Pondok Pesantren Sukamanah Singaparma yang dipimpin oleh K.H. Zaenal Mustafa. Mereka menolak seikerei (sikap menghormati Tenno Haika dengan membungkukkan badan 90 derajat ke arah matahari terbit). Kewajiban seikerei ini menyinggung umat Islam karena termasuk perbuatan syrik yakni menyekutukan Tuhan. Selain alasan seikerei, K.H. Zaenal Mustafa juga sudah tidak tahan melihat penderitaan rakyat akibat penerapan romusha. Tanggal 25 Februari 1944, Kiai Zaenal memimpin perlawanan tetapi dapat dipadamkan pemerintah Jepang karena persenjataan yang tidak memadai. Banyak pengikut Kiai Zaenal yang terbunuh dan Kiai Zaenal sendiri tertangkap pada 25 Oktober 1944 hingga akhirnya dihukum mati Jepang. 

b. Perlawanan Rakyat Indramayu 

Peristiwa Indramayu terjadi pada April 1944. Pencetusnya adalah karena Jepang mewajibkan kepada rakyat untuk menyetorkan sebagian hasil panen padi dan pelaksanaan romusha yang telah mengakibatkan penderitaan rakyat. April 1944, mereka melakukan perlawanan di daerah Karangapel. Karena sifatnya spontan, maka perlawanan ini dapat dipadamkan pemerintah Jepang. 

c. Perlawanan Rakyat Aceh 

Perlawanan Aceh terjadi pada 10 November 1942 yang dipimpin oleh Tengku Abdul Jalil. Pemicunya karena tindakan sewenang-wenang Jepang terhadap rakyat Aceh. Usaha perundingan tidak berhasil sehingga Jepang menyerang di Cot Plieng. Tengku Abdul Jalil ditembak bersama pengikutnya ketika melarikan diri dari kepungan Jepang. Informasi yang didapat dalam pertempuran itu, 90 serdadu Jepang tewas dan 3.000 rakyat Cot Plieng gugur di medan laga. 

d. Perlawanan Peta di Blitar 

Perlawanan dilakukan oleh Peta (Pembela Tanah Air), sebuah organisasi militer bentukan Jepang. Pemicunya adalah persoalan pengumpulan hasil panen padi yang diwajibkan Jepang kepada rakyat, romusha yang menyebabkan penderitaan rakyat, dan pelatihan Heiho yang keras di luar batas kemanusiaan. Alasan lain yang terungkap bahwa dalam Peta, pelatih militer Jepang bersikap angkuh dan selalu memandang rendah prajurit-prajurit Indonesia. Perlawanan dipimpin oleh anggota Peta komandan pleton (shodanco) yang bernama Supriyadi pada 14 November 1944 di Blitar. 

Perlawanan ini termasuk perlawanan yang terbesar dalam masa pendudukan Jepang di Indonesia. Meskipun perlawanan dapat dipatahkan dan pengikut Supriyadi dapat ditangkap, dilucuti, dan dihukum mati, tetapi perlawanan ini dapat membangkitkan semangat nasionalisme bangsa Indonesia untuk lepas dari penjajahan. 

Setelah perlawanan itu selesai, orang tidak tahu lagi di mana Shodancho Supriyadi berada. Jika Supriyadi ikut diadili oleh Mahkamah Militer Jepang dan mati dieksekusi, tidak ada saksi maupun catatannya. Kalau Supriyadi mati karena alasan lain, tidak jelas di mana makamnya. 

Sebaliknya, jika Supriyadi berhasil melarikan diri dan selamat, juga tidak seorang pun mengetahui di mana Supriyadi berada sehingga sampai sekarang keberadaan Supriyadi masih misterius.

Please wait 59 sec.


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Perlawanan Terhadap Jepang"

Post a Comment