Peristiwa Westerling Di Makassar

Peristiwa Westerling Di Makassar 

Sam Ratulangi, Gubernur Sulawesi Selatan (Makassar), membentuk Pusat Pemuda Nasional Indonesia (PPNI) dan Manai Shopian ditunjuk sebagai ketuanya. Organisasi ini bertugas menampung aspirasi masyarakat Makassar, termasuk diantaranya menentang Belanda (NICA) membentuk Negara Indonesia Timur (NIT). 

Tanggal 5 Desember 1946, Belanda mengirimkan pasukan ke Sulawesi Selatan di bawah pimpinan Kapten Raymond Paul Pierre Westerling. Ketika mendarat di Makassar, Westerling membawa 120 orang pasukan khusus (pasukan berkemampuan istimewa). Misi utama Westerling adalah menumpas pemberontakan para pejuang dari Makassar yang menentang pembentukan Negara Indonesia Timur (NIT). 

Westerling adalah orang Belanda kelahiran Turki. Westerling dilahirkan dari keluarga campuran Belanda dan Yunani. Ayahnya, Paul Westerling, adalah keturunan Belanda, sedangkan ibunya keturunan Yunani. Westerling lahir tanggal 31 Agustus 1919 di Istanbul, ibu kota Turki, dengan nama Raymond Paul Pierre Westerling. 

Di dinas militer, temannya memanggil dengan julukan Turk, de Turk, atau Turco. Karena kekejamannya di Sulawesi Selatan, dia mendapat julukan The Master Killer. Dia sengaja membangun citra kejam sehingga terkesan menakutkan di mata masyarakat. Sebagai contoh, jika pejuang Republik tertangkap, biasanya Westerling menyuruh pejuang itu berlari sekencang-kencangnya lalu menembaknya dari jarak 20-30 meter. Para pejuang itu mati tertembak tepat di kepala. 

Para pemuda seperti Robert Wolter Monginsidi, Rivai, dan Paersi yang tergabung dalam organisasi PPNI mengangkat senjata melakukan perlawanan. Mereka berhasil merebut tempat-tempat strategis yang dikuasai NICA. Selanjutnya, Wolter Monginsidi dan kawan-kawan membentuk Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS) dengan tujuan mengerakkan rakyat melakukan perlawanan terhadap Belanda. 

Untuk menumpas gerakan yang dipelopori Wolter Monginsidi dan beberapa pejuang wanita seperti Emmy Sailan yang rela meninggal untuk mengusir Belanda, Westerling menerapkan metode Gestapo. Metode ini biasa diterapkan polisi rahasia Jerman yang terkenal kejam pada zaman Adolf Hitler. Pada masa Nazi berkuasa di Jerman para polisi rahasia menangkap dan membantai orang-orang yang mereka curigai sebagai musuh. Pada zaman pendudukan Jepang, dikenal dengan nama Kempetai (polisi rahasia Jepang). 

Belanda melakukan tindakan brutal itu sejak tanggal 7 sampai 25 Desember 1946. Akibatnya, dalam waktu kurang dari satu bulan, sekitar 40.000 ribu orang warga sipil dibunuh oleh pasukan Westerling. Hasil penelitian dari Angkatan Darat tahun 1951, korban keganasan Westerling sekitar 1.700 orang. 

Monginsidi juga tertangkap oleh pasukan Belanda pada 28 Februari 1947, tetapi ia dapat melarikan diri pada 27 Oktober 1947. Tidak lama kemudian, Monginsidi tertangkap kembali dan kali ini dia dihukum mati dengan cara ditembak oleh regu tembak pada 5 September 1949. Untuk mengenang kepahlawanan Monginsidi, pemerintah memindahkan makamnya ke Taman Makam Pahlawan Makassar pada 10 November 1950.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Peristiwa Westerling Di Makassar "

Post a Comment