Pemerintahan Militer Jepang dan Dampak pendudukan Jepang Di Indonesia

Pemerintahan Militer Jepang

Setelah menguasai Indonesia, Jepang memerintah dengan sistem pemerintahan militer dengan membagi menjadi tiga daerah militer yang dikendalikan oleh angkatan darat (rigukun) dan angkatan laut (kaigun). Ketiga daerah tersebut di bawah komando panglima besar tentara Jepang yang bertempat di Saigon (Vietnam). Ketiga daerah tersebut meliputi: 

a. Daerah Jawa dan Madura dengan pusat di Batavia di bawah kendali angkatan laut (kaigun). 

b. Daerah Sumatra dan Semenanjung Melayu dengan pusat di Singapura di bawah kendali angkatan darat (rigukun). 

c. Daerah Kalimantan dan Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua di bawah kendali angkatan laut (kaigun). 

Selain memerintah dengan sistem militer, Jepang dalam rangka mengawasi masyarakat dan membangun gerakan pertahanan masyarakat menggunakan sistem Tonarigumi yang sekarang lebih dikenal sistem Rukun Tetangga (RT). 

Dalam bidang politik, Jepang membentuk Jawa Hokokai (Himpunan Kebaktian Rakyat Jawa) sebagai lembaga yang bertugas mengumpulkan dana, misalnya dalam bentuk uang, beras, ternak, logam mulia, kayu jati, dan sebagainya. Dalam usaha mendapatkan tenaga kerja, Jepang membentuk Romukyokai (panitia pengerah romusha) untuk dipekerjakan dalam proyek pembangunan jalan raya, pelabuhan, dan lapangan udara. 

Pada awalnya, romusha ini mendapatkan upah. Namun, pada perkembangan selanjutnya para pekerja ini tanpa diupah oleh pemerintah Jepang. Dalam sistem pertahanan menghadapi Sekutu dan usaha melanggengkan kekuasaannya, di Indonesia dibentuk lembaga-lembaga semimiliter dan militer. Organisasi-organisasi buatan Jepang itu misalnya Keibodan (barisan pembantu polisi), Seinendan (barisan pemuda), Fujinkai (barisan wanita), Heiho (barisan cadangan prajurit), PETA (pembela tanah air), Putera (Pusat Tenaga Rakyat), Jawa Hokokai (Himpunan Kebaktian Rakyat Jawa), Jibakutai (pasukan berani mati), Kempetai (barisan polisi rahasia), dan Gakukotai (laskar pelajar). 

Dampak pendudukan Jepang Di Indonesia 

Masa pendudukan Jepang membawa dampak yang luar biasa terhadap bangsa Indonesia, baik dampak secara politik, ekonomi, dan sosial budaya. Untuk lebih jelasnya, berikut paparannya. 

1. Bidang Politik 

Setelah Jepang berkuasa di Indonesia, organisasi kemasyarakatan baik itu organisasi politik, sosial, maupun keagamaan dibubarkan dan menggantikannya dengan organisasi bentukan Jepang. Satu-satunya organisasi yang dibiarkan oleh Jepang adalah Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang berdiri sejak pemerintahan kolonial Belanda. Organisasi ini mendapat simpati masyarakat sehingga berkembang dengan cepat. Karena organisasi ini mengkhawatirkan Jepang, maka pada tahun 1943 MIAI dibubarkan dan menggantikannya dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dengan K.H. Hasyim Asy’ari sebagai ketuanya. 

Untuk menekan tokoh pergerakan yang tidak kooperatif terhadap Jepang, dilakukan pengawasan yang ketat dengan menyebar polisi rahasia yang sangat ditakuti, yakni Kempetai. Jepang tidak segan-segan menangkap, menginterogasi, bahkan menghukum mati orang yang dianggap bersalah tanpa proses pengadilan. 

Di samping cara-cara represif, Jepang juga menerapkan caracara yang diharapkan mengundang simpati, misalnya: 

a. Menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dan melarang keras penggunaan bahasa Belanda. 

b. Membentuk kerja sama dengan para nasionalis serta membentuk gerakan 3A (Nipon cahaya Asia, Nipon pelindung Asia, Nipon pemimpin Asia) dengan menunjuk Mr. Syamsuddin sebagai ketuanya. Tujuan gerakan bentukan Jepang ini adalah menarik simpati rakyat Indonesia agar membantu Jepang menghadapi Amerika Serikat dan sekutunya. Gerakan ini akhirnya tidak mendapat simpati rakyat karena pada kenyataannya Jepang terlalu kejam bagi rakyat Indonesia. 

c. Membentuk organisasi yang bernama Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dan menunjuk Sukarno, Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan K.H. Mas Mansyur sebagai pemimpinnya. Tujuan organisasi ini adalah memusatkan segala potensi rakyat Indonesia untuk membantu Jepang melawan tentara Sekutu. Namun, organisasi ini dimanfaatkan pimpinannya untuk membangkitkan nasionalisme yang sempat pudar. Karena organisasi ini ternyata lebih menguntungkan Indonesia daripada kepentingan Jepang, maka akhirnya Putera dibubarkan. 

d. Membentuk Badan Pertimbangan Pusat yang kemudian disebut Cuo Sangi In (pada zaman kolonial Belanda disebut Volksraad). Badan ini bertugas memberikan usul atau saran-saran terhadap Jepang tentang masalah-masalah politik. Jepang menunjuk Sukarno sebagai ketuanya. 

e. Membentuk Jawa Hokokai (Himpunan Kebaktian Jawa) sebagai lembaga yang bertugas mengumpulkan dana, misalnya dalam bentuk uang, beras, ternak, logam mulia, kayu jati, dan sebagainya. Jepang menunjuk gunseikan atau seorang kepala pemerintahan sebagai ketuanya. Seperti organisasi lain bentukan Jepang, organisasi ini tidak mendapat sambutan rakyat, terutama di luar Pulau Jawa. 

2. Bidang Ekonomi 

Dalam bidang ekonomi, Jepang menginginkan Indonesia sebagai tempat eksploitasi segala sumber daya, baik itu pangan, sandang, logam, dan minyak demi kepentingan perang, sebagaimana tampak dalam hal-hal berikut ini. 

a. Menyita Aset Ekonomi 

Jepang menyita aset hasil perkebunan (teh, kopi, karet, tebu), pabrik, bank, dan perusahaan-perusahaan penting. Banyak lahan pertanian yang terbengkalai karena pemerintah Jepang fokus pada ekonomi perang dan industri perang. Dampaknya, kelaparan rakyat dan kemiskinan di mana-mana. 

Kebijakan Jepang di antaranya juga adanya ekonomi perang. Ekonomi perang adalah semua kekuatan ekonomi di Indonesia digali untuk menopang kegiatan perang. Bagi Jepang, Indonesia merupakan negara yang sangat menarik perhatian karena merupakan negara kepulauan yang kaya akan hasil bumi, pertanian, tambang, dan lain sebagainya. 

Kekayaan Indonesia tersebut sangat cocok untuk keperluan industri Jepang. Setelah berhasil menguasai Indonesia, Jepang mengambil kebijakan dalam ekonomi yang sering disebut Self Help, yaitu hasil perekonomian di Indonesia dijadikan modal untuk mencukupi kebutuhan pemerintahan Jepang, contohnya sebagai berikut. 1) Jepang memerintahkan menanam padi karena beras adalah sumber energi tentara Jepang. 2) Jepang memerintahkan menanam jarak karena getah jarak dijadikan pelumas mesin-mesin industri alat perang Jepang termasuk pesawat tempur. 3) Jepang memerintahkan menanam tanaman kina karena menjadi obat antimalaria. Penyakit malaria sangat melemahkan kemampuan bertempur pasukan Jepang. 

b. Pengawasan Ketat di Bidang Ekonomi 

Jepang melakukan pengawasan ekonomi secara ketat. Pengawasan tersebut antara lain penggunaan dan penyediaan barang serta pengendalian harga untuk mencegah meningkatkan harga barang. Jika ada yang melanggar, akan dikenai sanksi sangat berat. 

c. Kebijakan Self-sufficiency 

Kebijakan self-sufficiency yaitu pemerintah Jepang mengharuskan pada wilayah-wilayah yang ada di bawah pemerintah Jepang harus memenuhi kebutuhannya sendiri. 

d. Memberlakukan Setoran Wajib, Romusha 

Pada tahun 1944, Jepang dalam ambisi perangnya semakin terdesak dan kalah di berbagai front sehingga kebutuhan bahanbahan pangan semakin meningkat. Untuk mengatasinya, Jepang membuat aturan agar rakyat menyerahkan bahan pangan dan barang secara besar-besaran melalui organisasi bentukan Jepang yang bernama Jawa Hokokai (Himpunan Kebaktian Rakyat Jawa) dan Nagyo Kumiai (koperasi pertanian). Setiap rakyat harus menyerahkan bahan makanan 30 persen untuk pemerintah Jepang, 30 persen untuk lumbung desa (simpanan), dan 40 persen menjadi hak miliknya. 

Kewajiban yang memberatkan itu membuat rakyat menderita dan kekurangan pangan sehingga rakyat makan makanan yang tidak biasa seperti umbi-umbian hutan, bekicot, dan sebagainya. Karena sandang juga langka, rakyat terpaksa memakai pakaian dengan bahan dasar karung goni. Keadaan itu diperparah dengan kewajiban romusha atau kerja paksa. Banyak rakyat meninggal di tempat kerja atau ditembak mati karena melarikan diri dari kewajiban romusha. 

3. Bidang Sosial 

a. Romusha 

Penerapan romusha pada awalnya secara sukarela dari rakyat karena mendapat upah dari pemerintah Jepang. Namun, lambat laun romusha menjadi kerja paksa yang tidak ada lagi sistem pengupahan. Banyak pemuda desa dan laki-laki desa lainnya yang dipaksa kerja romusha sehingga mengakibatkan lahan pertanian menjadi tidak tergarap. Mereka dimobilisasi tidak saja untuk membangun jalan, bandara, dan pelabuhan di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri seperti Burma, Thailand, Vietnam, dan Malaysia. 

b. Jugun Ianfu 

Selain memobilisasi para pemuda desa untuk romusha, pemerintah Jepang juga merekrut wanita-wanita desa untuk dijadikan perempuan penghibur tentara Jepang atau yang dikenal dengan Jugun Ianfu. Para wanita itu awalnya direkrut dijanjikan dididik menjadi perawat kesehatan, tetapi pada kenyataanya mereka dijadikan sebagai wanita penghibur. 

c. Pendidikan 

Pada masa Jepang, sistem pendidikan lebih buruk daripada masa kolonial Belanda. Jumlah sekolah menurun drastis dan jumlah warga buta aksara semakin banyak. Sistem pembelajaran dan kurikulum dijadikan untuk kepentingan perang. Pelajar diindoktrinasi dengan slogan Hakko Ichiu (delapan penjuru dunia di bawah satu atap). Slogan ini terus diterapkan sebagai alat propaganda Jepang bahwa Jepang pemimpin dunia dan alat pembenaran Jepang selalu menginvansi negara lain selama Perang Dunia II. 

d. Bahasa dan Stratifikasi Sosial 

Ada sisi positif dalam diri Jepang. Pertama, dalam bidang bahasa, karena bahasa Indonesia wajib digunakan sebagai bahasa pengantar. Bahasa Indonesia juga dijadikan sebagai pelajaran wajib. Kedua, dalam penjajahan Jepang ini, stratifikasi sosial golongan bumiputra (inlander, zaman Belanda) ditempatkan di atas golongan Eropa dan golongan Timur Asing kecuali Jepang. Jepang ingin mengambil hati rakyat dalam usaha menghadapi Sekutu dalam Perang Pasifik. 

4. Bidang Kebudayaan 

Sebagai negara fasis, Jepang memang mendidik warga negaranya dengan sangat ketat. Semua urusan warga negaranya harus taat pada aturan yang ditetapkan oleh negara. Walaupun menjadi negara modern akibat Restorasi Meiji, Jepang tetap sangat menghormati kaisarnya. Sebab bagi mereka, kaisar dianggap sebagai keturunan Dewa Matahari. 

Oleh karena itu, dalam tradisi Jepang, mereka memberi hormat ke arah matahari terbit dengan cara membungkukkan punggung dalam-dalam (disebut dengan Seikerei) sebagai simbol penghormatan terhadap kaisar. 

Kebiasaan Jepang itu dipaksakan kepada setiap negara jajahannya, termasuk di Indonesia sehingga menimbulkan rasa tidak suka terhadap Jepang. Perilaku seperti itu bertentangan dengan agama karena dianggap sebagai Syrik (menyekutukan Tuhan). Perlawanan K.H. Zainal Mustafa di Tasikmalaya, Jawa Barat pada tahun 1944 sebagai bukti bahwa Jepang tidak bisa memaksa begitu saja budayanya kepada tanah jajahan. 

Dalam usaha mengendalikan kebudayaan, Jepang membentuk organisasi yang bernama Keimin Bunkei Shidoso (pusat kebudayaan). Keimin Bunkei Shidoso dijadikan sebagai wadah perkembangan kesenian Indonesia. Lembaga ini juga dimanfaatkan Jepang untuk mengawasi dan mengarahkan seniman-seniman Indonesia agar karyanya tidak menyimpang dari kepentingan Jepang. Jika ada seniman yang berani mengkritik Jepang, maka seniman itu ditangkap dan dipenjarakan. Contohnya, Chairil Anwar dijebloskan ke penjara karena karya sastranya yang berjudul Siap Sedia.

Please wait 59 sec.


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Pemerintahan Militer Jepang dan Dampak pendudukan Jepang Di Indonesia"

Post a Comment