Kedermawanan Sultan Hamengku Buwono II Dalam Revolusi Fisik (1946-1950)
Kedermawanan Sultan Hamengku Buwono II Dalam Revolusi Fisik (1946-1950)
Setelah kepindahan para pemimpin di Jakarta ke Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono IX sebagai tuan rumah melayani tamunya dengan sebaik-baiknya. Semula Muhammad Hatta dan keluarga menginap di Puro Pakualaman sambil menunggu selesainya perbaikan rumah yang disiapkan di Jalan Reksobayan No. 4 Yogyakarta. Sukarno dan keluarga juga sementara tinggal di Puro Pakualaman sambil menunggu membersihkan rumah Gubernur Belanda yang kemudian dikenal dengan Gedung Negara atau sekarang bernama Gedung Agung.
Gedung Agung juga berfungsi sebagai kantor pusat pemerintahan Republik di Yogyakarta, karena di gedung inilah biasanya dilakukan pertemuan antara Presiden, Wakil Presiden, para menteri, dan pimpinan militer. Setibanya para pemimpin Republik Indonesia di Yogyakarta, tiap-tiap kementerian dan jawatan-jawatan berturut-turut ikut hijrah ke Yogyakarta.
Gedung Negara setelah ditinggalkan Jepang tidak terdapat peralatan rumah tangga di dalamnya. Oleh karena itu, Keraton Yogyakarta memberikan berbagai peralatan bahkan keraton memberikan 1.440 pucuk senjata api kepada pasukan Republik Indonesia. Selain senjata api, Keraton Yogyakarta juga menyumbangkan senjata-senjata tajam seperti tombak. Sukarno menceritakan bahwa saat itu pemerintahan Republik Indonesia bekerja seadanya sehingga tidak mirip dengan pemerintahan selayaknya.
Sukarno berujar “Kami tidak mempunyai apa-apa, tidak ada mesin ketik, alat kantor, pesawat terbang, dan kami juga tidak mempunyai uang.” Melihat kondisi pemerintahan yang memprihatinkan itulah kemudian Sultan menyumbangkan beberapa uang gulden milik keraton sekaligus uang pribadinya untuk biaya operasional pemerintah Republik Indonesia. Menurut Rahendra Koeman, seorang menteri yang menjabat bidang perburuhan dan sosial dalam kabinet Hatta, pemberian bantuan uang Belanda (gulden) dalam jumlah sangat besar yang disimpan di keraton kepada pejabat dan pegawai-pegawai pemerintah pusat adalah agar tidak menyeberang kepada pihak Belanda karena tergiur uang Belanda.
Sebelum para pemimpin bangsa bertolak dari Bangka (pengasingan) menuju Yogyakarta mereka berkumpul dalam sebuah pertemuan. Dalam perbincangan itu, tiba-tiba Sukarno dan Moh. Hatta berbicara dengan nada yang menunjukkan kesedihan karena pemerintah republik tidak punya ongkos dan biaya operasional untuk menggerakkan roda pemerintahan jika kembali ke Yogyakarta dan kemudian dilanjutkan di Jakarta.
Para tokoh yang ada di sana seperti H. Agus Salim, Komisaris Besar Polisi Sumarto, Mr. Assaat, Mr. Gafar Pringgodigdo, dr. Halim, dr. Darmasetiawan, RH. Koesnan, dan lainnya telah memberikan saran, tetapi tidak ada keputusan yang disepakati. Sultan berbicara di hadapan para pemimpin republik itu untuk menyumbangkan dana dalam bentuk cheque Javache Bank (sekarang Bank Indonesia) sebesar f 6.000.000 (6 juta gulden) untuk membantu kepulangan para pemimpin Republik dan memulai menggerakkan roda pemerintahan.
Dengan uang sebanyak itu, Indonesia kala itu dapat memperbaiki pelayanan rakyat dalam bidang kesehatan, pendidikan, militer, sampai pada penggajian pejabat dan pegawai negara. Tahun 1949, negara diibaratkan sebagai bayi yang belum punya pendapatan, sedangkan negara membutuhkan uang untuk pemerintahan minimal untuk gaji pegawai dan pimpinan Republik.
Sukarno menerima selembar kertas cheque tersebut dengan wajah terharu dan menyambutnya dengan kata singkat dengan suara rendah: “Terima kasih” sambil mengulurkan tangannya kepada Sultan. Dua anak manusia dan dua putra bangsa terbesar saling berjabat tangan. Oleh karena merasa terharu dengan kebaikan Sultan, tanpa canggung Sukarno langsung merangkul Sultan.
Suasana ruangan menjadi hening dan haru. Air mata tidak terbendung dari semua yang hadir. Oleh karena Sukarno sangat terkesan dan merasa begitu pentingnya Yogyakarta dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan, Sukarno sebelum kembali ke Jakarta, menuliskan pesan, “Djogjakarta mendjadi termasjhur oleh karena djiwa kemerdekaannya. Hidupkanlah terus djiwa kemerdekaan itu!
0 Response to "Kedermawanan Sultan Hamengku Buwono II Dalam Revolusi Fisik (1946-1950) "
Post a Comment