Agresi Militer Belanda II

Agresi Militer Belanda II 

Seperti halnya ketika diadakan Perjanjian Linggarjati antara Indonesia dengan Belanda yang dikhianati Belanda dengan melancarkan Agresi Militer Belanda I, ketika diadakan Perjanjian Renville, Belanda juga mengkhianatinya. Perjanjian Renville yang diadakan pada Januari 1948 di atas Kapal USS Renville di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, menyepakati suatu gencatan senjata di sepanjang Garis Van Mook (suatu garis buatan yang menghubungkan titik-titik terdepan pihak Belanda walaupun dalam kenyataannya masih tetap ada banyak daerah yang dikuasai pihak Republik di dalamnya). 

Pelaksanaan hasil Perundingan Renville mengalami kemacetan. Upaya jalan keluar yang ditawarkan oleh KTN selalu mentah kembali karena tidak adanya kesepakatan antara Indonesia dan Belanda. Indonesia melalui Hatta - wakil presiden merangkap perdana menteri menggantikan Amir Syarifuddin - tetap tegas mempertahankan kedaulatan Indonesia, sementara Belanda terus berupaya mencari cara menjatuhkan wibawa Indonesia. 

Saat ketegangan semakin memuncak, Indonesia dan Belanda mengirimkan nota kepada KTN. Nota itu sama-sama berisi tuduhan terhadap pihak lawan yang tidak menghormati hasil Perundingan Renville. Akhirnya, menjelang tengah malam pada tanggal 18 Desember 1948, Wali Tinggi Mahkota Belanda, Dr. Beel, mengumumkan bahwa Belanda tidak terikat lagi pada hasil Perundingan Renville. 

Sementara itu, keadaan dalam negeri sudah sangat tegang terkait dengan oposisi yang dilakukan oleh Front Demokrasi Rakyat (PKI dan sekutunya) terhadap politik yang dijalankan oleh Kabinet Hatta. Oposisi ini meningkat setelah seorang tokoh komunis kawakan, Musso, yang memimpin pemberontakan PKI tahun 1926, kembali ke Indonesia dari Uni Soviet. 

Musso sejak mudanya memang selalu bersikap radikal dan dialah yang mendorong PKI untuk memberontak pada tahun 1926. Oposisi terhadap Kabinet Hatta mencapai pucaknya ketika Sumarsono, pemimpin Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia), mengumumkan pembentukan pemerintahan Soviet di Madiun, 18 September 1948. 

Untuk mengajak rakyat agar bersatu melawan pemberontakan PKI Madiun 1948 yang mencoba menohok dari belakang sementara Republik Indonesia menghadapi Belanda, Sukarno dengan nada tinggi mengatakan, “Pada saat yang genting ini kita mengalami cobaan yang besar untuk menentukan nasib kita sendiri. Silakan pilih di antara dua, yaitu ikut Musso dengan PKI-nya yang akan membawa bangkrutnya cita-cita Indonesia merdeka atau ikut Sukarno-Hatta yang akan memimpin Negara RI yang merdeka, tidak dijajah oleh negara apa pun juga!” 

TNI bertindak cepat. Kolonel Sungkono segera mengerahkan brigade operasi di bawah komando Mayor Jonosewojo. Tentara Indonesia melakukan pukulan balasan terhadap PKI Madiun dengan bantuan dari batalion-batalion Mudjajin, Sabirin Muhtar, Sabaruddin, dan Sunaryadi. Gubernur Militer Gatot Subroto juga mengerahkan Brigade Sadikin Siliwangi dari arah Barat. Batalionˇbatalion yang dikerahkan adalah Achmad Wiranatakusumah, Umar, Daeng, Nasuhi, Kusno Utomo, Sambas, Kosasih, dan Kemal Idris. 

Dalam tempo sepuluh hari saja pasukan TNI telah merebut Madiun. Akhirnya, pemberontakan PKI Madiun dapat dipadamkan TNI dan pemimpinnya, Musso, ditembak mati pada 31 Oktober 1948. 

Sebelum pasukan-pasukan Republik dapat beristirahat setelah beroperasi terus-menerus melawan PKI Madiun, Belanda menyerang lagi. Dini hari, 19 Desember 1948, pesawat terbang Belanda membombardir Maguwo (sekarang Bandara Adisucipto) dan sejumlah bangunan penting di Yogyakarta. Peristiwa itu mengawali Agresi Militer Belanda II. Pemboman dilanjutkan dengan penerjunan pasukan udara. 

Setelah mengetahui Belanda menyerang, Sultan Hamengkubuwono IX kemudian pergi ke Gedung Negara (sekarang Gedung Agung, Istana Negara Yogyakarta) untuk bertemu dengan Presiden Sukarno dan beberapa menteri seperti Juanda, Ali Sastroamijoyo, Rh. Kusnan, serta Laksamana Udara Suryadarma, sedangkan Wakil Presiden-Perdana Menteri Moh. Hatta tidak ada. 

Ternyata, saat itu Hatta sedang berada di Kaliurang untuk menghadiri pertemuan dengan perwakilan Australia, Critchley, anggota Komisi Tiga Negara. Karena kabinet akan segera mengadakan sidang darurat, sementara perdana menteri tidak ada, maka Sultan Hamengkubuwono IX menyanggupi untuk menjemput Hatta di Kaliurang. 

Sementara itu, pesawat terbang Belanda menjatuhkan granat, bom, dan tembakan mitraliur ke Benteng Vredenburg yang terletak di depan Gedung Negara. Sultan Hamengkubuwono IX langsung menuju mobilnya. Namun, sebelum sampai meninggalkan halaman Gedung Negara, Sultan Hamengkubuwono IX bertemu dengan Sutan Syahrir, mantan perdana menteri yang juga akan menjemput Hatta ke Kaliurang.

Bersama Syahrir, Sultan Hamengkubuwono IX menuju Kaliurang. Di tengah jalan, Sultan Hamengkubuwono IX berpapasan dengan mobil milik Hatta yang menuju ke Gedung Negara. Dengan cepat, Sultan Hamengkubuwono IX memutar kemudinya untuk kembali ke Gedung Negara. Namun, karena pesawat terbang Belanda membabi buta memuntahkan bom, Sultan Hamengkubuwono IX memutuskan untuk meninggalkan jalan raya dan memasuki jalan desa yang lebih terlindung dengan jalan yang berliku-liku untuk menghindari serangan pesawat tempur Belanda. 

Sesampai di Gedung Negara, ternyata sidang darurat sudah selesai sehingga Sultan Hamengkuˇbuwono IX sebagai Menteri Negara Koordinator Keamanan tidak sempat mengikuti sidang darurat yang sangat penting. 

Semula memang sudah ada rencana bahwa presiden dan wakil presiden serta para pemimpin lainnya akan diterbangkan ke India. Rencana lain adalah mengungsikan presiden ke Baturaden, di lereng Gunung Slamet, Jawa Tengah. Ternyata, dalam suasana genting itu pemerintah RI menghasilkan keputusan darurat seperti berikut. 

a. Melalui radiogram, pemerintah RI memˇberikan mandat kepada Syafruddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintah Darurat RI (PDRI) di Sumatera. Juga memberikan perintah kepada Mr. A.A. Maramis yang sedang di India bahwa apabila Syafruddin Prawiranegara ternyata gagal melaksanakan kewajiban pemerintah pusat, maka A.A. Maramis diberi wewenang untuk membentuk pemerintahan di India. 

b. Presiden dan wakil presiden RI tetap tinggal di dalam kota - dengan risiko ditangkap Belanda - agar dekat dengan KTN (saat itu berada di Kaliurang). 

c. Pimpinan TNI menyingkir ke luar kota dan melancarkan perang gerilya dengan membentuk wilayah pertahanan (sistem wehkreise) di Jawa dan Sumatra. 

Setelah menguasai Yogyakarta, pasukan Belanda menawan presiden dan sejumlah pejabat negara. Sukarno, Sutan Syahrir, serta Agus Salim ditawan dan diterbangkan ke Brastagi. Sedangkan Hatta, Mr. Roem, Ali Sastroamijoyo, Suryadarma, dan Assat ditawan di Bangka. Tidak beberapa lama, Sukarno kemudian dipindahkan ke Bangka. Sementara itu, Jenderal Sudirman memimpin TNI melancarkan perang gerilya di kawasan luar kota. 

Sore harinya, pukul 17.00, Komandan Pasukan Belanda Kolonel Van Langen yang menjadi penguasa militer di Yogyakarta datang ke keraton. Kedatangannya itu untuk memberitahukan bahwa Sultan Hamengkubuwono IX boleh bergerak ke mana-mana secara leluasa asalkan tidak melawati garis merah yang tertera di peta. 

Setelah dilihat, ternyata garis merah tersebut mengelilingi seluruh wilayah keraton. Itu artinya, Sultan HB IX tidak boleh keluar dan bergerak dengan bebas. Jadi, Sultan Hamengkubuwono IX dikenakan status tahanan rumah oleh Belanda. 

Aksi/Agresi Militer Belanda II ternyata menarik perhatian PBB karena Belanda secara terang-terangan tidak mengikuti lagi Perjanjian Renville di depan Komisi Tiga Negara yang ditugaskan kepada PBB. Pada 24 Januari 1949, Dewan Keamanan membuat resolusi agar RI dan Belanda segera menghentikan permusuhan dan membebaskan presiden RI serta pemimpin politik lain yang ditawan Belanda. 

Amerika Serikat mulai mengubah pandangannya terhadap Indonesia karena dengan tegas telah menumpas pemberontakan PKI di Madiun sehingga mulai melakukan tekanan dan ancaman menghentikan bantuan kepada Belanda yang diberikan dalam rangka Marshall Palan (di Eropa). Adanya tekanan politik dan militer - dengan makin besarnya kemampuan TNI untuk melaksanakan perang gerilya - itulah akhirnya Belanda menerima perintah Dewan 241 Keamanan PBB untuk menghentikan agresinya dan memaksa Belanda untuk kembali ke meja perundingan.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Agresi Militer Belanda II "

Post a Comment