Perlawanan Tuanku Imam Bonjol di Minangkabau (1821-1838)
Perlawanan Tuanku Imam Bonjol di Minangkabau (1821-1838)
Muhammad Shahab atau lebih dikenal dengan nama Tuanku Imam Bonjol adalah seorang ulama dan pemimpin yang memiliki peran penting dalam melawan Belanda ketika Perang Padri yang terjadi pada 1803-1838. Imam Bonjol lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatra Barat pada 1772. Ia merupakan anak dari pasangan Bayanuddin dan Hamatun. Ayahnya adalah seorang alim ulama dari Sungai Rimbang, Suliki. Sebagai anak seorang alim ulama, Imam Bonjol dididik dan dibesarkan secara Islami.
Sejak 1800 hingga 1802, Imam Bonjol menimba dan mendalami ilmu-ilmu agama Islam di Aceh. Usai menuntaskan masa pendidikannya, ia pun mendapat gelar Malin Basa, yakni gelar untuk tokoh yang dianggap besar atau mulia. Ia adalah sosok yang ingin menegakkan kebenaran. Perjalanan Tuanku Imam Bonjol dalam menegakkan kebenaran terbagi dalam beberapa periode sebagai berikut.
a. Periode 1803-1821.
Ketika itu kaum Padri, yang di dalamnya juga termasuk Imam Bonjol, hendak membersihkan dan memurnikan ajaran Islam yang cukup banyak diselewengkan. Kala itu, kalangan ulama di Kerajaan Pagaruyung menghendaki Islam yang berpegang teguh pada Alquran serta sunah-sunah Rasulullah SAW. Dalam proses perundingan dengan kaum adat, tidak didapatkan sebuah kesepakatan yang dirasa adil untuk kedua belah pihak. Seiring dengan macetnya perundingan, kondisi pun kian bergejolak hingga akhirnya kaum Padri di bawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada 1815. Pertempuran pun pecah di Koto Tangah, dekat Batu Sangkar.
b. Periode 1821-1825.
Pada Februari 1821, kaum adat yang tengah digempur menjalin kerja sama dengan Hindia Belanda untuk membantunya melawan kaum Padri. Sebagai imbalannya, Hindia Belanda mendapatkan hak akses dan penguasaan atas wilayah Darek (pedalaman Minangkabau). Salah satu tokoh yang menghadiri perjanjian dengan Hindia Belanda kala itu adalah Sultan Tangkal Alam Bagagar, anggota keluarga dinasti Kerajaan Pagaruyung. Meskipun dibantu oleh kekuatan dan pasukan kolonial dalam peperangan, kaum Padri tetap sulit ditaklukkan. Oleh karena itu, Hindia Belanda melalui Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch mengajak pemimpin kaum Padri, yang kala itu telah diamanahkan kepada Imam Bonjol, untuk berdamai. Tanda dari perjanjian damai tersebut adalah dengan menerbitkan maklumat Perjanjian Masang pada 1824.
c. Periode 1825-1830.
Pada tahun 1825, di Pulau Jawa sedang terjadi Perang Diponegoro. Belanda menghadapi kesulitan. Mereka harus mengerahkan kekuatan militernya ke Pulau Jawa. Oleh karena itu, Belanda bermaksud mengadakan perjanjian damai dengan Imam Bonjol. Pada 29 Oktober 1825, Belanda berhasil mengadakan perjanjian damai dengan kaum Padri yang terkenal dengan sebutan Perjanjian Padang. Isi perjanjian tersebut adalah kedua belah pihak sepakat mengadakan gencatan senjata. Setelah perjanjian itu, selama empat tahun Tanah Minangkabau aman, tidak ada peperangan antara kaum Padri dengan Belanda.
d. Periode 1830-1838.
Perang Diponegoro selesai pada tahun 1830, pasukan Belanda dialihkan untuk menyerang Imam Bonjol. Pada pertengahan tahun 1832, Belanda mengirimkan pasukannya ke Sumatra Barat. Benteng Padri berhasil direbut Belanda. Namun, pada tahun 1833, benteng itu dapat direbut kembali oleh pasukan Imam Bonjol dari tangan Belanda. Belanda terus berusaha menundukkan Iman Bonjol. Kemudian, Belanda menggunakan siasat benteng. Pasukan Belanda dipimpin Jenderal Michiels. Ketika itu, kaum Padri sudah bersatu dengan kaum adat untuk bersama-sama melawan Belanda.
Pada tahun 1833, kondisi peperangan pun berubah. Kaum adat akhirnya bergabung dan bahu-membahu dengan kaum Padri melawan pasukan kolonial. Bersatunya kaum adat dan Padri ini dimulai dengan adanya kompromi yang dikenal dengan nama Plakat Puncak Pato di Tabek Patah. Dari sana lahirlah sebuah konsensus adat basandi syarak, yakni adat berdasarkan agama. Bergabungnya kaum adat dan kaum Padri tentu semakin menyulitkan pasukan Hindia Belanda. Kendati sempat melakukan penyerangan bertubi-tubi dan mengepung benteng kaum Padri di Bonjol pada Maret hingga Agustus 1837, hal tersebut tak mampu menundukkan perlawanan kaum Padri. Hindia Belanda bahkan tiga kali mengganti komandan perangnya untuk menaklukkan benteng kaum Padri tersebut.
Sadar bahwa taktik dan strategi perangnya kalah oleh kaum Padri, pemerintah Hindia Belanda pun mengambil jalan pintas. Pada tahun 1837, mereka mengundang Imam Bonjol sebagai pemimpin kaum Padri ke Palupuh untuk kembali merundingkan perdamaian. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini Hindia Belanda memanfaatkan momen perundingan untuk menjerat Imam Bonjol. Sesampainya di Palupuh, Imam Bonjol ditangkap. Tak hanya ditangkap, pemimpin kaum Padri itu pun diasingkan ke Cianjur, Jawa Barat.
Perjalanan pengasingan Imam Bonjol tak berhenti di sana. Dia sempat dibuang ke Ambon. Pengasingannya terhenti di Lotak, Minahasa, dekat Manado, Sulawesi Selatan. Di tempat pengasingannya yang terakhir itu Imam Bonjol mengembuskan napas terakhirnya pada 8 November 1864. Setelah Imam Bonjol tertangkap, akhirnya seluruh Sumatra Barat jatuh ke tangan Belanda. Itu berarti, seluruh perlawanan dari kaum Padri berhasil dipatahkan oleh Belanda.
0 Response to "Perlawanan Tuanku Imam Bonjol di Minangkabau (1821-1838)"
Post a Comment