Perlawanan Sultan Mahmud Badaruddin di Palembang (1817 - 1821)

Perlawanan Sultan Mahmud Badaruddin di Palembang (1817 - 1821)

Sultan Mahmud Badaruddin II lahir di Palembang pada tahun 1767. Ia adalah pemimpin Kesultanan Palembang-Darussalam selama dua periode (1803-1813 dan 1818-1821) setelah masa pemerintahan ayahnya, Sultan Muhammad Bahauddin (1776- 1803). Nama aslinya sebelum menjadi Sultan adalah Raden Hasan Pangeran Ratu.

Sejak hasil tambang timah ditemukan di Bangka pada pertengahan abad ke-18, Palembang menjadi incaran Inggris dan Belanda. Demi menjalin kontrak dagang, bangsa Eropa berniat menguasai Palembang. Karena timbul persaingan antara Belanda dan Inggris, maka Inggris melalui Raffles berusaha membujuk Sultan Mahmud Badaruddin ll agar mengusir Belanda dari Palembang.

Sultan Mahmud menolak permintaan Raffles karena tidak ingin terlibat dalam pertikaian Inggris dan Belanda. Namun, akhirnya terjalin kerja sama Inggris dan Palembang dengan pihak Palembang lebih diuntungkan. 

a. Peristiwa Loji Sungai Aur (1811)

Pada 14 September 1811, terjadi pembantaian di Loji Sungai Aur. Pihak Belanda yang disalahkan atas pembataian tersebut. Namun, Belanda beranggapan bahwa Inggris sengaja melakukannya agar Kesultanan Palembang mengusir Belanda dari Palembang. Karena merasa terpojok, Inggris di bawah pimpinan Raffles mengadakan perundingan dengan Sultan Mahmud Badaruddin II dan berharap mendapatkan jatah Pulau Bangka yang saat itu masuk wilayah Kesultanan Palembang. Pulau tersebut juga merupakan penghasil timah yang diperebutkan Belanda dan Inggris. Namun, permintaan Inggris jelas ditolak oleh Sultan Mahmud Badaruddin II.

b. Penyerbuan Inggris ke Palembang tahun 1812

Hubungan Sultan Mahmud Badaruddin II dengan Raffles cukup baik sebelum takluknya Belanda dari Inggris. Namun, pada 12 Maret 1812, Inggris mengirim ekspedisi militer di bawah pimpinan Gillespie ke Palembang dan memerangi Palembang dengan alasan menghukum Sultan Mahmud Badaruddin atas penolakannya menyerahkan wilayah Pulau Bangka.

Dalam pertempuran itu, Inggris berhasil menduduki Palembang. Sultan Mahmud Badaruddin pun menyingkir ke Muara Rawas di hulu Sungai Musi. Pada 1811, Inggris mengalahkan Belanda dan memaksa Belanda menandatangani Perjanjian Tuntang yang isinya sebagai berikut. 

  1. Pemerintah Belanda menyerahkan Indonesia kepada Inggris di Kalkuta (India).
  2. Semua tentara Belanda menjadi tawanan perang Inggris. 
  3. Orang Belanda dapat dipekerjakan dalam pemerintahan Inggris.

Dengan demikian, Palembang jatuh ke tangan Inggris. Setelah menguasai Palembang, Inggris mengangkat Pangeran Adipati yang merupakan adik kandung Sultan Mahmud Badaruddin ll sebagai Sultan Palembang setelah menandatangani perjanjian dengan syarat-syarat yang menguntungkan Inggris.

Inggris mengambil alih Pulau Bangka dan mengganti namanya menjadi Duke of York’s Island dan menempatkan Meares sebagai residennya. Sementara itu, Sultan Mahmud Badaruddin yang melarikan diri ke Muara Rawas mulai menghimpun kekuatan dan mendirikan kubu di Muara Rawas untuk menghadapi serangan dari Meares yang ingin menangkapnya. 

Pada 28 Agustus 1812, terjadi pertempuran di Buay Langu yang menyebabkan Meares tertembak dan tewas setelah dibawa ke Mentok. Kedudukan residen kemudian diambil alih oleh Mayor Robinson. Dalam upaya menangkap Sultan Mahmud Badaruddin, Mayor Robinson mengadakan perundingan damai dengan Sultan Mahmud Badaruddin. Melalui serangkaian perundingan, Sultan Mahmud Badaruddin kembali ke Palembang dan naik takhta pada Juli 1813 sebelum kembali dilengserkan pada Agustus 1813.

Sementara itu, Mayor Robinson ditahan dan dipecat oleh Raffles karena mandat yang diberikan tidak dijalankan dengan baik. Perlawanan Sultan Mahmud Badaruddin bersama rakyat yang menggunakan stategi perang bergerilya dengan ketangkasan dan kecerdasannya serta pemahaman terhadap medan perang akhirnya mampu memaksa Inggris untuk mundur dan kalah. Inggris pun mengakui kedaulatan Palembang sebagai kesultanan.

Konflik Sultan Mahmud Badaruddin II dengan Belanda dimulai sejak ditandatangani Perjanjian London antara Belanda dan Inggris yang membuat Inggris menyerahkan daerah koloni di Nusantara, termasuk Palembang, kepada Belanda. Serah terima dilakukan dua tahun kemudian, tepatnya pada 19 Agustus 1816 oleh Jhon Fendall sebagai pengganti Raffles.

Setelah serah terima kekuasaan, Belanda mengangkat Herman Warner Muntinghe sebagai komisaris di Palembang. Tindakan pertama yang dilakukannya adalah mendamaikan kedua sultan, Sultan Mahmud Badaruddin II dan Husin Diauddin. Tindakannya berhasil. Sultan Mahmud Badaruddin II berhasil naik takhta kembali pada 7 Juni 1818. Sementara itu, Husin Diauddin yang pernah bersekutu dengan Inggris berhasil dibujuk oleh Muntinghe ke Batavia sebelum akhirnya dibuang ke Cianjur.

Mutinghe melakukan penjajahan ke pedalaman wilayah Kesultanan Palembang dengan alasan untuk inventarisasi wilayah, karena pada dasarnya hanya untuk menguji kesetiaan Sultan Mahmud Badaruddin ll dan karena ketidakpercayaan Mutinghe kepada Sultan Mahmud Badaruddin ll. Akan tetapi, di daerah Muara Rawas, Mutinghe dan pasukannya diserang oleh pengikut Sultan Mahmud Badaruddin ll.

Setelah kembali, Mutinghe bermaksud memaksa Kesultanan Palembang agar menyerahkan putra mahkota sebagai jaminan agar Kesultanan Palembang selalu setia terhadap pemerintah Belanda. Namun, sampai habis batas penyerahannya, Kesultanan Palembang tidak menyerahkan putra mahkota dan Sultan Mahmud Badaruddin menyerang Belanda yang didasari oleh sikap Belanda yang terlalu mencampuri urusan kesultanan dan mengekang kesultanan agar tunduk kepada Belanda. Sikap inilah yang menyebabkan Sultan Mahmud Badaruddin dan Kesultanan Palembang beserta rakyat menyatakan perang terhadap Belanda.

c. Perang Palembang I (1819)

Pertempuran Belanda melawan Kesultanan Palembang pecah pada 12 Juni 1819. Perlawanan itu dikenal dengan Pertempuran Menteng yang merupakan pertempuran terdahsyat karena banyak korban berjatuhan dari pihak Belanda. 

Pertempuran terus berlanjut, akan tetapi karena kuatnya pertahanan Palembang yang sulit ditembus dan banyaknya korban di pihak Belanda, maka Belanda memutuskan kembali ke Batavia dengan membawa kekalahan.

d. Perang Palembang II (1819)

Sekembalinya ke Batavia dan memberitahukan keadaaan peperangan ke pemerintah di Batavia, Gubernur Jenderal Belanda saat itu, Van der Capellen, mengadakan perundingan dengan Laksamana Constantijn Johan Wolterbeek dan Mayjend. Hendrik Markus de Kock yang membahas tentang Kesultanan Palembang yang sangat sulit ditaklukkan oleh Belanda. Akhirnya, diputuskan untuk kembali menyerang Palembang.

Oleh karena itu, Belanda mengirimkan ekspedisi ke Palembang dengan kekuatan penuh dengan tujuan menggulingkan Sultan Mahmud Badaruddin ll dan menguasai Palembang secara penuh, serta mengganti Sultan Mahmud Badaruddin dengan Pangeran Jayadiningrat yang didukung oleh Belanda. Sebab, Belanda beranggapan bahwa selama Sultan Mahmud Badaruddin masih berkuasa, maka Palembang tidak akan pernah bisa dikuasai seluruhnya dan itu berarti Belanda tidak bisa menjangkau jalur perdagangan di Pulau Bangka yang menjadi wilayah dari Kesultanan Palembang.

Kabar bahwa Belanda mengirimkan pasukan ekspedisi ke Palembang telah didengar oleh Sultan Mahmud Badaruddin ll. Karena ia telah mengira akan ada serangan balik, maka ia mempersiapkan pertahanan yang tangguh di beberapa tempat di Sungai Musi sebelum masuk ke Palembang dengan dibuat benteng-benteng pertahanan yang dikomandani oleh keluarga sultan.

Pada 21 Oktober 1819, pecah pertempuran di Sungai Musi antara Belanda yang dipimpin oleh Wolterbeek dengan Kesultanan Palembang yang dipimpin sendiri oleh Sultan Mahmud Badaruddin. Terjadi tembak-menembak meriam di kedua belah pihak hingga Wolterbeek menghentikan pertempuran dan memutuskan kembali ke Batavia.

e. Perang Palembang III (1821)

Setelah pertempuran pada 21 Oktober 1819, Sultan Mahmud Badaruddin ll mengangkat anaknya, Pangeran Ratu, menjadi sultan di Kesultanan Palembang dengan gelar Ahmad Najamuddin lll. Hal ini dilakukan karena Sultan Mahmud Badaruddin ll hanya ingin terfokus untuk melawan Belanda dan mengusirnya dari Tanah Palembang dan tidak diganggu oleh urusan Kesultanan Palembang.

Namun, persiapan benteng dan pertahanan Sultan Mahmud Badaruddin ll di Sungai Musi sudah diketahui oleh Belanda melalui mata-matanya yang ternyata adalah dari kalangan bangsawan dan orang Arab di Palembang. Hal ini menyebabkan Belanda mempersiapkan pasukan yang besar dalam rangka menghadapi Kesultanan Palembang.

Pada 16 Mei 1821, Belanda di bawah pimpinan De Kock memasuki sungai Musi dan pertempuran baru terjadi pada 11- 20 Juni 1821. Belanda kembali mengalami kekalahan, akan tetapi hal ini tidak menyurutkan semangat Belanda. Belanda kembali menyusun strategi dalam menghadapi Kesultanan Palembang. Hingga akhirnya pada 24 Juni 1821, yang pada saat itu bertepatan dengan bulan Ramadan, Belanda menyerang Palembang pada dini hari.

Terjadilah pertempuran hebat antara pemerintah Belanda dengan rakyat Palembang. Akibat serangan fajar tersebut, Palembang dapat dilumpuhkan, tetapi belum dapat dikuasai sepenuhnya. Baru pada 25 Juni 1821, Palembang jatuh ke tangan Belanda. Maka, resmilah kolonialisme Belanda di Palembang.

Setelah melakukan perlawanan dan menderita kekalahan akibat serangan tiba-tiba dari Belanda, Palembang pun dapat dikuasai oleh Belanda. Sementara itu, Sultan Mahmud Badaruddin ll dan keluarganya menjadi tawanan Belanda. Pada 13 Juli 1821, Sultan Mahmud Badaruddin dan keluarganya dikirim ke Batavia sebelum dipindahkan ke Ternate pada 26 September 1821 sampai Sultan Mahmud Badaruddin ll meninggal di Ternate pada 26 September 1852.

Sebagian keluarga sultan yang tidak tertangkap mengasingkan diri ke Marga Sembilan sambil melanjutkan perlawanan atas Belanda waluapun tidak sehebat Sultan Mahmud Badaruddin ll. Karena banyaknya perlawanan Kesultanan Palembang kepada Belanda, maka Belanda membekukan Kesultanan Palembang.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Perlawanan Sultan Mahmud Badaruddin di Palembang (1817 - 1821)"

Post a Comment