Perlawanan Sisingamangaraja (1878 - 1907)

Perlawanan Sisingamangaraja (1878 - 1907)



Sisingamangaraja XII (lahir di Bakara, 18 Februari 1845, meninggal di Dairi, 17 Juni 1907 pada umur 62 tahun) adalah seorang raja di Negeri Toba, Sumatra Utara dan pejuang yang berperang melawan Belanda. Sebelumnya, ia dimakamkan di Tarutung Tapanuli Utara, lalu dipindahkan ke Soposurung, Balige pada tahun 1953.

Nama kecil Sisingamangaraja XII adalah Patuan Bosar, yang kemudian digelari Ompu Pulo Batu. Ia juga dikenal dengan Patuan Bosar Ompu Pulo Batu. Ia naik takhta pada tahun 1876 untuk menggantikan ayahnya, Sisingamangaraja XI yang bernama Ompu Sohahuaon. Selain itu, ia juga disebut juga sebagai Raja Imam.

Penobatan Sisingamangaraja XII sebagai maharaja di Negeri Toba bersamaan dengan dimulainya open door policy (politik pintu terbuka) Belanda dalam  mengamankan modal asing yang beroperasi di Hindia Belanda. Ia tidak mau menandatangani Korte Verklaring (perjanjian pendek) di Sumatra, terutama Kesultanan Aceh dan Toba karena kerajaan ini membuka hubungan dagang dengan negara-negara Eropa lainnya. Di sisi lain, Belanda sendiri berusaha untuk menanamkan monopolinya atas kerajaan tersebut. Politik yang berbeda ini mendorong situasi selanjutnya untuk melahirkan Perang Tapanuli yang berkepanjangan hingga puluhan tahun.

Sisingamangaraja adalah keturunan seorang pejabat yang ditunjuk oleh Raja Pagaruyung yang sangat berkuasa ketika itu, yang datang berkeliling Sumatra Utara untuk menempatkan pejabat-pejabatnya. Dalam sepucuk surat kepada Marsden bertahun 1820, Raffles menulis bahwa para pemimpin Batak menjelaskan kepadanya mengenai Sisingamangaraja yang merupakan keturunan Minangkabau dan bahwa di Silindung terdapat sebuah arca batu berbentuk manusia sangat kuno yang diduga dibawa dari Pagaruyung. Sampai awal abad ke-20, Sisingamangaraja masih mengirimkan upeti secara teratur kepada pemimpin Minangkabau melalui perantaraan Tuanku Barus yang bertugas menyampaikannya kepada pemimpin Pagaruyung.

Tahun 1877, para misionaris di Silindung dan Bahal Batu meminta bantuan kepada pemerintah kolonial Belanda dari ancaman diusir oleh Singamangaraja XII. Kemudian, pemerintah Belanda dan para penginjil sepakat untuk tidak hanya menyerang markas Sisingamangaraja XII di Bakara, tetapi sekaligus menaklukkan seluruh Toba.

Pada 6 Februari 1878, pasukan Belanda sampai di Pearaja, tempat kediaman penginjil Ingwer Ludwig Nommensen. Kemudian, beserta penginjil Nommensen dan Simoneit sebagai penerjemah, pasukan Belanda terus menuju ke Bahal Batu untuk menyusun benteng pertahanan. Namun, kehadiran tentara kolonial ini telah memprovokasi Sisingamangaraja XII yang kemudian mengumumkan pulas (perang) pada 16 Februari 1878 dan penyerangan ke pos Belanda di Bahal Batu mulai dilakukan.

Pada 14 Maret 1878, datang Residen Boyle bersama tambahan pasukan yang dipimpin oleh Kolonel Engels sebanyak 250 orang tentara dari Sibolga. Pada 1 Mei 1878, Bakkara, pusat pemerintahan Sisingamangaraja diserang pasukan kolonial dan pada 3 Mei 1878, seluruh Bakkara dapat ditaklukkan. Namun, Sisingamangaraja XII beserta pengikutnya dapat menyelamatkan diri dan terpaksa keluar mengungsi. Sementara para raja yang tertinggal di Bakara dipaksa Belanda untuk bersumpah setia dan kawasan tersebut dinyatakan berada dalam kedaulatan pemerintah Hindia Belanda.

Walaupun Bakara telah ditaklukkan, Sisingamangaraja XII terus melakukan perlawanan secara gerilya. Namun, sampai akhir Desember 1878, beberapa kawasan seperti Butar, Lobu Siregar, Naga Saribu, Huta Ginjang, serta Gurgur juga dapat ditaklukkan oleh pasukan kolonial Belanda. Di antara tahun 1883-1884, Sisingamangaraja XII berhasil melakukan konsolidasi pasukannya. Kemudian, bersama pasukan bantuan dari Aceh, secara ofensif menyerang kedudukan Belanda, di antaranya Uluan dan Balige pada Mei 1883 serta Tangga Batu pada tahun 1884. 

Sisingamangaraja XII meninggal pada 17 Juni 1907 dalam sebuah pertempuran dengan Belanda di pinggir Bukit Lae Sibulbulen, di suatu desa yang bernama Si Ennem Kodn, di perbatasan Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Dairi yang sekarang. Sebuah peluru menembus dadanya akibat tembakan pasukan Belanda yang dipimpin Kapten Hans Christoffel. Menjelang napas terakhir, ia tetap berucap, “Ahu (aku) … Sisingamangaraja.”

Turut gugur pada waktu itu dua putranya, Patuan Nagari dan Patuan Anggi, serta putrinya, Lopian. Sementara itu, keluarganya yang tersisa ditawan di Tarutung. Sisingamangaraja XII sendiri kemudian dikebumikan Belanda secara militer pada 22 Juni 1907 di Silindung setelah sebelumnya mayatnya diarak dan dipertontonkan kepada masyarakat Toba. Makamnya kemudian dipindahkan ke Makam Pahlawan Nasional di Soposurung, Balige sejak 14 Juni 1953.

Please wait 59 sec.


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Perlawanan Sisingamangaraja (1878 - 1907)"

Post a Comment