Perlawanan Raja-Raja Lokal Terhadap VOC

Perlawanan Raja-Raja Lokal Terhadap VOC

Setelah VOC menancapkan pengaruhnya dengan tujuan menguasai kerajaan-kerajaan dan melakukan monopoli perdagangan, banyak kerajaan lokal yang menentang dan melakukan perlawanan. Berikut ini perlawanan perlawanan terhadap VOC.

1. Sultan Agung Hanyokrokusumo di Mataram (1628–1629) Kerajaan Mataram

mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1645). Daerah kekuasaannya meliputi hampir seluruh Pulau Jawa. Hanya Jawa Barat yang belum masuk wilayah Mataram. Pada mulanya, hubungan antara Mataram dengan VOC berjalan baik. Dibuktikan dengan diperbolehkannya VOC mendirikan kantor dagang di wilayah Mataram tanpa membayar pajak. Namun, akhirnya V OC menunjukkan sikap yang tidak baik, ingin memonopoli perdagangan di Jepara.

Tuntutan VOC tersebut ditolak oleh Bupati Kendal bernama Baurekso, yang bertanggung jawab atas wilayah Jepara. Namun, penolakan itu tidak menyurutkan keinginan VOC. Persekutuan dagang VOC tetap melaksanakan monopoli perdagangannya. Hal ini membangkitkan kemarahan rakyat Mataram sehingga kantor VOC diserang. Gubernur Jenderal VOC, Jan Pieterszoon Coen, membalasnya dengan memerintahkan pasukannya untuk menembaki daerah Jepara. Menyikapi peristiwa tersebut, Sultan Agung bertekad menyerang Kota Batavia. Penyerangan Sultan Agung terhadap VOC di Kota Batavia dilakukan sebanyak dua kali.

Serangan pertama dilakukan tahun 1628. Pada pertengahan bulan Agustus 1628, secara tiba-tiba armada Mataram muncul di perairan Kota Batavia. Mereka segera menyerang benteng VOC. Berikut ini panglima-panglima Sultan Agung. 

  1. Tumenggung Baurekso. 
  2. Tumenggung Sura Agul-agul. 
  3. Kyai Dipati Manduro- Rejo. 
  4. Kyai Dipati Uposonto.

Dalam perlawanan tersebut, Tumenggung Baurekso gugur beserta putranya.

Pasukan Sultan Agung menggunakan taktik perang yang tinggi, antara lain dengan membendung sungai Ciliwung, (seperti waktu penyerangan di Surabaya). Namun, penyerangan kali ini mengalami kegagalan. Akhirnya, pasukan Sultan Agung terpaksa mengundurkan diri. Meskipun gagal, tetapi tidak membuat Sultan Agung dan pasukannya, para bangsawan serta rakyatnya patah semangat. Kemudian, disusunlah strategi baru untuk persiapan serangan kedua.

Serangan kedua dilaksanakan pada tahun 1629 dengan perencanaan yang lebih sempurna, antara lain sebagai berikut. 

  1. Persenjataan dilengkapi dengan senjata api dan meriam. 
  2. Pasukan berkuda dan beberapa gajah. 
  3. Persediaan makanan yang cukup dan pengadaaan lumbung lumbung padi di Tegal dan Cirebon.

Serangan kedua ini berhasil menghancurkan Benteng Hollandia dan menewaskan J.P. Coen sewaktu mempertahankan Benteng Meester Cornellis. Karena banyak pasukan yang tewas, daerah itu dinamakan Rawa Bangke. Rupanya, VOC dapat mengetahui tempat lumbung padi di Tegal dan Cirebon. Kemudian, lumbung lumbung itu dibakar. Akhirnya, serangan kedua ini juga mengalami kegagalan. Kedua serangan yang gagal ini tidak membuat Sultan Agung putus asa. Dia telah memikirkan untuk serangan selanjutnya. Namun, sebelum rencananya terwujud, Sultan Agung mangkat (1645). Kegagalan yang menyebabkan kekalahan itu, antara lain sebagai berikut. 

  1. Pasukan lelah karena jarak Mataram (sekarang Yogyakarta) menuju Batavia (Jakarta) sangat jauh. 
  2. Kekurangan persediaan makanan (kelaparan). 
  3. Kalah dalam persenjataan. 
  4. Banyak yang meninggal akibat penyakit malaria.

Setelah Sultan Agung mangkat (wafat) pada tahun 1645, kedudukan sultan digantikan oleh putranya yang bergelar Sunan Amangkurat I. Sunan Amangkurat I dalam menjalankan politik pemerintahannya melakukan kerja sama dengan VOC. Pada tahun 1646 diadakan perjanjian bilateral antara Mataram dengan VOC. Isi perjanjian itu sangat merugikan Mataram. Adapun isi perjanjian sebagai berikut. 

  1. Mataram mengakui kekuasaan VOC di Batavia dan VOC mengakui kekuasaan Amangkurat I di Mataram. 
  2. Apabila ada utusan Mataram yang akan bepergian ke luar negeri akan diangkut oleh kapal-kapal VOC. 
  3. Kapal-kapal Kesultanan Mataram diperbolehkan melintasi Selat Malaka dengan seizin VOC. 
  4. Mataram tidak diperkenankan mengadakan hubungan dagang dengan Maluku. 
  5. Apabila terjadi peperangan, masing-masing tidak akan saling membantu musuh.

Dengan ditandatanganinya perjanjian ini, maka Mataram di bawah Amangkurat I mengakui kedaulatan VOC.

2. Perlawanan Sultan Hasanuddin dari Makassar (1666 - 1667)

Pada abad ke-17 di Sulawesi Selatan telah muncul beberapa kerajaan kecil seperti Gowa, Tallo, Sopeng, dan Bone. Di antara kerajaan itu yang paling kuat secara ekonomi dan militer adalah kerajaan Gowa atau Makassar. Adapun kondisi yang membuat Makassar menjadi kerajaan yang penting karena hal-hal berikut.

  1. Letak Makassar yang sangat strategis dalam lalu lintas perdagangan, yakni Malaka-Batavia-Maluku.
  2. Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis (1511) membuat saudagar-saudagar Arab, India, dan Melayu berpindah ke Makassar.
  3. Posisi Makassar sebagai pelabuhan transit yang berasal dari Kesultanan Banjar (Banjarmasin).

Mulanya, hubungan VOC dengan Makassar berjalan dengan baik. Posisi strategis Makassar memperkuat hubungan tersebut. Setelah VOC menerapkan kebijakan monopoli perdagangan di Goa, hubungan mereka menjadi retak. VOC ingin menguasai perdagangan Malaka-Batavia-Maluku. Sebagai balasannya, Makassar selalu menerobos monopoli VOC yang memicu ketegangan yang berujung pada  peperangan. Perang diawali dengan perampasan armada VOC di Maluku oleh pasukan Hasanuddin. Tindakan ini memicu perang yang kemudian dikenal dengan Perang Makassar (1666-1669). Dalam perang itu, VOC bersekutu dengan Aru Palaka, Raja Bone yang sedang berseteru dengan Kerajaan Gowa. Karena kalah persenjataan, maka Kesultanan Gowa dapat dikalahkan dan Sultan Hasanuddin tunduk pada Perjanjian Bongaya (1667) yang sangat merugikan Kerajaan Gowa. Isi perjanjian itu adalah:

  1. Gowa harus mengakui monopoli perdagangan VOC.
  2. Pedagang dari Barat kecuali VOC harus meninggalkan Gowa. 
  3. Gowa harus membayar kerugian perang.
  4. VOC akan membangun banteng-benteng di Makassar. 
  5. Gowa harus mengakui kedaulatan Kesultanan Bone.

3. Untung Suropati di Jawa (1685 - 1706)

Suropati melawan VOC terjadi pada tahun 1685-1706. Nama lengkapnya adalah Untung Surapati atau Untung Suropati. Ia adalah bekas seorang budak yang berasal dari Bali. Setelah menjadi orang bebas, ia masuk dinas militer VOC. Karena kecakapan dan kepribadiannya yang kuat, ia dapat mencapai pangkat letnan.

Kemudian, ia mendapat tugas mengadakan operasi militer di daerah Banten dan Priangan. Dalam operasi itu, Suropati berhasil menangkap Pangeran Purbaya. Pangeran Purbaya menyerahkan kerisnya kepada Untung Suropati. Namun secara kesatria, Suropati mengembalikan keris itu kepada Pangeran Purbaya. Wakil Suropati, seorang pembantu letnan bangsa Belanda bernama Kuffeler, tidak menyetujui kebijakan Suropati itu.

Dengan sombong, ia menghina Suropati sebagai atasannya, karena Suropati seorang pribumi. Maka, terjadilah perselisihan antara keduanya. Dalam perselisihan itu, Kuffeler mati terbunuh. Sejak itulah Suropati keluar dari dinas tentara VOC, kemudian mengadakan perlawanan di daerah Priangan.

Ketika VOC mengirimkan pasukan untuk menangkapnya, ia telah menyingkir ke Kartasura. Kemudian, VOC mengirimkan pasukan ke Kartasura di bawah pimpinan Kapten Tack. Dalam pertempuran di Kartasura, Kapten Tack dan sebagian besar anak buahnya terbunuh oleh pasukan Surapati. Kemudian, Suropati dan anak buahnya bergerak ke Jawa Timur dan mendirikan kerajaan kecil di Pasuruan. Sementara itu, di Mataram terjadi pergantian takhta. Sunan Amangkurat II wafat pada tahun 1703. Ia digantikan oleh putranya, Sunan Amangkurat III, yang juga terkenal dengan sebutan Sunan Mas.

Dari tindakan-tindakannya, tampaklah bahwa Sunan Mas memihak perjuangan Suropati. Oleh sebab itu, VOC mencalonkan Pangeran Puger sebagai raja baru. Dengan dukungan VOC, Pangeran Puger dapat menggeser kedudukan Sunan Mas.

Setelah naik takhta, Pangeran Puger bergelar Paku Buwono I. Namun, ia harus menandatangani perjanjian dengan VOC pada tahun 1705. Sementara itu, setelah kedudukannya tergeser, Sunan Mas menggabungkan diri dengan Untung Suropati di Jawa Timur. Pada tahun 1706, VOC mengirimkan tentara yang kuat ke Jawa Timur untuk menyerang Suropati. Dengan gagah berani, Suropati memimpin perlawanan terhadap VOC, tetapi ia gugur dalam pertempuran di Bangil.

4. Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682)

Pada tahun 1651 sampai dengan 1682, Banten diperintah oleh Pangeran Surya dengan gelar Pangeran Ratu Ing Banten dan setelah kembali dari Mekah mendapat gelar Sultan Abdulfatah atau lebih dikenal dengan Sultan Ageng Tirta yasa. Sebelumnya, Banten diperintah oleh kakek dari Sultan Ageng Tirtayasa, yaitu Sultan Abdulmafakhir Mahmud Abdulkadir. Sultan Ageng Tirtayasa merupakan anak dari Sultan Abul Ma’ali Ahmad.

Pada waktu itu Banten memiliki posisi yang strategis sebagai bandar perdagangan internasional. Oleh karena itu, sejak semula Belanda ingin menguasai Banten, tetapi tidak pernah berhasil. Akhirnya, VOC membangun bandar di Batavia pada tahun 1619. Hal ini menyebabkan timbulnya persaingan antara Banten dan Batavia untuk memperebutkan posisi sebagai bandar perdagangan internasional. Oleh karena itu, rakyat Banten sering melakukan serangan-serangan terhadap VOC.

Sultan Ageng Tirtayasa berusaha memulihkan posisi Banten sebagai bandar perdagangan internasional sekaligus menandingi perkembangan perdagangan di Batavia. Beberapa yang dilakukan Sultan Ageng Tirtayasa adalah sebagai berikut. 

  1. Mengundang para pedagang dari Eropa lain seperti Inggris, Prancis, Denmark, dan Portugis. 
  2. Mengembangkan hubungan dagang dengan negara-negara Asia seperti Persia, Benggala, Siam, Tonkin, dan Cina.

VOC sangat tidak menyukai perkembangan di Banten. Oleh karena itu, untuk melemahkan peran Banten sebagai bandar perdagangan, VOC sering melakukan blokade, yaitu kapal-kapal dagang dari Maluku dilarang meneruskan perjalanan ke Banten. Sebagai balasan, Sultan Ageng mengirimkan beberapa pasukannya untuk mengganggu kapal-kapal dagang VOC dan membuat kekacauan di Batavia.

Dalam rangka memberi tekanan dan melemahkan kedudukan VOC, rakyat Banten juga melakukan perusakan terhadap beberapa bibit tanaman milik VOC. Akibatnya, hubungan Banten dengan Batavia semakin memburuk.

Untuk menghadapi tentara Banten, VOC terus memperkuat Kota Batavia dengan mendirikan benteng-benteng pertahanan seperti Benteng Noorwijk dengan harapan VOC mampu bertahan dari berbagai serangan dari luar. Sementara itu, untuk kepentingan pertahanan, Sultan Ageng Tirtayasa memerintahkan untuk membangun saluran irigasi yang membentang dari Sungai Untung Jawa sampai Pontang. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan produksi pertanian dan memudahkan transportasi perang. Karena jasanya itulah, maka Sultan diberi gelar Tirtayasa (“tirta” artinya air).

Pada tahun 1671, Sultan Ageng mengangkat putra mahkota Abdul Nazar Abdulkahar sebagai sultan pembantu yang kemudian lebih dikenal dengan nama Sultan Haji. Sebagai raja pembantu, Sultan Haji bertanggung jawab pada urusan dalam negeri, sedangkan Sultan Ageng beserta putranya yang lain, yakni Pangeran Arya Purbaya, bertanggung jawab atas urusan luar negeri.

Pemisahan urusan pemerintahan ini tercium oleh perwakilan VOC di Banten, yakni W. Caeff. Ia kemudian mendekati dan menghasut Sultan Haji agar urusan  pemerintahan di Banten tidak dipisah-pisahkan dan jangan sampai kekuasaan jatuh di tangan Arya Purbayasa. Hingga akhirnya, Sultan Haji mencurigai ayahnya dan saudaranya serta membuat persengkongkolan dengan VOC. Untuk merebut tanah Kesultanan Banten, maka timbullah pertentangan yang begitu tajam antara Sultan Haji dengan Sultan Ageng Tirtayasa. Dalam persengkongkolan tersebut, VOC sanggup membantu Sultan Haji untuk merebut Kesultanan Banten, tetapi dengan empat syarat, yakni:

  1. Banten harus menyerahkan Cirebon kepada VOC.
  2. Monopoli ada di Banten, dikuasai dan dipegang VOC.
  3. Banten harus membayar 600.000 ringgit apabila mengingkari janji.
  4. Pasukan Banten yang menguasai daerah pantai dan pedalaman Priangan segera ditarik kembali.

Isi perjanjian tersebut disetujui oleh Sultan Haji. Pada tahun 1681, VOC dengan atas nama Sultan Haji berhasil merebut Kesultanan Banten dan menguasai Istana Surosawan. Sultan Ageng Tirtayasa kemudian membangun istana yang baru dan berpusat di Tirtayasa. Sultan Ageng pun berusaha merebut Banten kembali.

Pada tahun 1682, pasukan Sultan Ageng berhasil mengepung Istana Surosawan. Kemudian, Sultan Haji meminta bantuan pasukan VOC di bawah pimpinan Francos Tack. Pasukan Sultan Ageng Tirtayasa dapat dipukul mundur dan terdesak hingga ke Benteng Tirtayasa. Sultan Ageng Titayasa akhirnya meloloskan diri bersama putranya, Pangeran Arya Purbaya, ke Hutan Lebak. Mereka masih melancarkan serangan walaupun dengan bergerilya.

Tentara VOC terus mencari Sultan Ageng Tirtayasa beserta pengikutnya yang kemudian bergerak ke arah Bogor. Baru setelah melalui tipu muslihat, pada tahun 1683 Sultan Ageng Tirtayasa berhasil ditangkap dan ditawan di Batavia sampai meninggal pada tahun 1692.

Please wait 59 sec.


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Perlawanan Raja-Raja Lokal Terhadap VOC"

Post a Comment