Perlawanan Pangeran Diponegoro di Jawa (1825-1830)

Perlawanan Pangeran Diponegoro di Jawa (1825-1830)

Belanda di Surakarta dan Yogyakarta semakin bertambah pengaruhnya pada permulaan abad ke-19. Khususnya di Yogyakarta, campur tangan Belanda telah menjadikan kekecewaan di kalangan kerabat keraton yang kemudian menjadikan perlawanan di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro.

Diponegoro adalah putra sulung Hamengkubuwano III, seorang raja Mataram di Yogyakarta. Ia Lahir pada 11 November 1785 di Yogyakarta dari seorang garwa ampeyan (selir, istri non permaisuri) bernama R.A. Mangkarawati yang berasal dari Pacitan. Sultan Hamengkubuwano III menghendaki Pangeran Diponegoro Perlawanan Pangeran Diponegoro di Jawa (1825-1830) Belanda di Surakarta dan Yogyakarta semakin bertambah pengaruhnya pada permulaan abad ke-19.

Khususnya di Yogyakarta, campur tangan Belanda telah menjadikan kekecewaan di kalangan kerabat keraton yang kemudian menjadikan perlawanan di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro. Diponegoro adalah putra sulung Hamengkubuwano III, seorang raja Mataram di Yogyakarta. Ia Lahir pada 11 November 1785 di Yogyakarta dari seorang garwa ampeyan (selir, istri non permaisuri) bernama R.A. Mangkarawati yang berasal dari Pacitan. Sultan Hamengkubuwano III menghendaki Pangeran Diponegoro menjadi raja karena selain berstatus putra tertua, ia juga cakap, ahli agama, dan dianggap mampu melaksanakan cita-cita leluhurnya.

Bahkan, Inggris menyarankan kepada Sultan Hamengkubuwano III untuk mengangkat Diponegoro menjadi putra mahkota. Namun, Diponegoro tidak mau dengan alasan bukan putra dari permaisuri (garwa padmi). Pangeran Diponegoro bernama kecil Raden Mas Mustahar, lalu diubah namanya oleh Hamengkubuwono III tahun 1805 menjadi Bendoro Raden Mas Ontowiryo.

Sebab-sebab perlawanan Diponegoro, antara lain sebagai berikut.

a. Adanya kekecewaan dan kebencian kerabat istana terhadap tindakan Belanda yang makin intensif mencampuri urusan keraton melalui Patih Danurejo (kaki tangan Belanda).

b. Adanya kebencian dari rakyat pada umumnya dan para petani pada khususnya karena tekanan pajak yang sangat memberatkan.

c. Adanya kekecewaan di kalangan para bangsawan, karena hak haknya banyak yang dikurangi.

d. Sebagai alasannya, secara khusus ialah adanya pembuatan jalan oleh Belanda yang melewati makam leluhur Pangeran Diponegoro di Tegalrejo.

Pertempuran pertama meletus pada 20 Juli 1825 di Tegalrejo. Setelah pertempuran di Tegalrejo, Pangeran Diponegoro dan pasukannya menyingkir ke Dekso. Di kawasan Plered, pasukan Diponegoro dipimpin oleh Kertapengalasan yang memiliki kemampuan yang cukup kuat. 

Kabar mengenai pecahnya perang melawan Belanda segera meluas ke banyak daerah. Dengan dikumandangkannya perang sabil, di Surakarta oleh Kiai Mojo, di Kedu oleh Kiai Hasan Besari, dan di daerah-daerah lain, maka pada pertempuran tahun 1825- 1826 pasukan Belanda banyak terpukul dan terdesak.

Melihat kenyatan ini, kemudian Belanda menggunakan usaha dan tipu daya untuk mematahkan perlawanan, antara lain sebagai berikut. 

a. Siasat benteng stelsel yang dilakukan oleh Jenderal de Kock mulai tahun 1827. 

b. Siasat bujukan agar perlawanan menjadi reda. 

c. Siasat dukungan hadiah sebesar 20.000 ringgit kepada siapa saja yang dapat menangkap Pangeran Diponegoro. 

d. Siasat tipu muslihat, yaitu usul berunding dengan Pangeran Diponegoro dan akhirnya ditangkap.

Dengan banyak sekali tipu daya, akhirnya satu per satu pemimpin perlawanan tertangkap dan menyerah, antara lain Pangeran Suryamataram dan Ario Prangwadono (tertangkap pada 19 Januari 1827), Pangeran Serang serta Notoprodjo (menyerah pada 21 Juni 1827), Pangeran Mangkubumi (menyerah pada 27 September 1829), dan Alibasah Sentot Prawirodirdjo (menyerah pada 24 Oktober 1829). Semua itu merupakan pukulan yang berat bagi Pangeran Diponegoro.

Melihat situasi yang demikian, pihak Belanda ingin menyelesaikan perang secara cepat. Jenderal de Kock melaksanakan tipu muslihat dengan mengajak berunding Pangeran Diponegoro. De Kock berjanji, apabila perundingan gagal, maka Diponegoro diperbolehkan kembali ke pertahanan.

Atas dasar komitmen tersebut, Diponegoro mau berunding di rumah Residen Kedu, Magelang, pada 28 Maret 1830. Namun, De Kock ingkar janji sehingga Pangeran Diponegoro ditangkap saat perundingan mengalami kegagalan. Pangeran Diponegoro kemudian dibawa ke Batavia, dipindahkan ke Manado, dan pada tahun 1834 dipindahkan ke Makassar sampai wafatnya pada 8 Januari 1855.

Please wait 40 sec.


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Perlawanan Pangeran Diponegoro di Jawa (1825-1830)"

Post a Comment