Perlawanan Pangeran Antasari di Kalimantan (1859 - 1862)

Perlawanan Pangeran Antasari di Kalimantan (1859 - 1862)

Pangeran Antasari lahir pada tahun 1797 di Banjar. Ayahnya bernama Pangeran Masohut (Mas’ud). Ayahnya merupakan anak dari Pangeran Amir yang merupakan anak dari Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah yang gagal naik takhta pada tahun 1785. Ibunya bernama Gusti Hadijah binti Sultan Sulaiman. Semasa muda, Pangeran Antasari mempunyai nama Gusti Inu Kartapati. Pangeran Antasari memiliki tiga putra dan delapan putri. Ia memiliki saudara perempuan yang bernama Ratu Antasari yang menikah dengan Sultan Muda Abdurrahman bin Sultan Adam, tetapi meninggal setelah melahirkan calon pewaris Kesultanan Banjar yang diberi nama Rakhmatillah, yang juga meninggal semasa masih bayi.

Penjajahan kolonial Belanda ketika menduduki wilayah Kalimantan tepatnya berada di Banjar. Strategi yang mereka jalankan dikenal dengan nama politik divide et impera, yang berarti membagi, memecah belah, dan menguasai atau yang dikenal dengan istilah “politik adu domba”. Hal tersebut bertujuan untuk menguasai kerajaan di Banjar. 

Pada tahun 1859, Sultan Tamjid diangkat menjadi Sultan Kerajaan Banjar, padahal yang berhak naik takhta adalah Pangeran Hidayat. Sultan Tamjid tidak disukai oleh rakyat karena terlalu memihak kepada Belanda. Belanda sengaja memberikan dukungannya kepada Sultan Tamjid. Hal ini menunjukkan campur tangan Belanda sudah sangat meresahkan, bahkan dalam pengangkatan seorang sultan pun merekalah yang menentukan.

Sebagai salah seorang keturunan Raja Banjarmasin yang dibesarkan di luar istana, Pangeran Antasari merasa prihatin dengan situasi tersebut. Walaupun ia keluarga Sultan Banjar, tetapi tidak pernah hidup dalam lingkungan istana. Karena dibesarkan di tengah-tengah rakyat biasa, Antasari menjadi dekat dengan rakyat, mengenal perasaan, dan mengetahui penderitaan mereka. Pada waktu itu, kekuasaan kolonial Belanda sedang berusaha untuk melemahkan Kerajaan Banjar.

Belanda mengadu domba golongan-golongan yang ada di dalam istana sehingga mereka terpecah-pecah dan bermusuhan. Maka, Antasari pun berinisiatif untuk mengusir penjajah dari Kerajaan Banjar tanpa kompromi. Pangeran Antasari berusaha membela hak Pangeran Hidayat, lalu bersekutu dengan kepala-kepala daerah Hulu Sungai, Martapura, Barito, Pleihari, Kahayan, Kapuas, dan daerah lain. Mereka semuanya bertekad untuk mengangkat senjata mengusir Belanda dari Kerajaan Banjar. Sikap anti terhadap Belanda muncul akibat pergantian kekuasaan di istana yang menimbulkan keresahan di antara rakyat.

Pada 25 April 1859, Perang Banjar terjadi saat Pangeran Antasari beserta dengan sekitar 6.000 pasukan menyerang tambang batu bara milik Belanda di Pengaron. Berawal dari peperangan tersebut, peperangan demi peperangan terjadi di seluruh wilayah Kerajaan Banjar yang dipimpin oleh Pangeran Antasari yang dibantu dengan para panglima dan pasukannya. Pangeran Antasari menyerang pos-pos Belanda di Martapura, Hulu Sungai, Riam Kanan, Tabalong, Tanah Laut, dan Sungai Barito sampai ke Puruk Cahu.

Pertempuran yang terjadi antara pasukan Khalifatul Mukminin dengan pasukan Belanda berlangsung terus di berbagai medan. Pasukan Belanda yang mendapat bantuan dari Batavia menang dalam persenjataan sehingga berhasil membuat mundur pasukan Khalifatul Mukminin dan memindahkan pusat benteng pertahanannya di Muara Teweh.

Pangeran Antasari berhasil mengerahkan tenaga rakyat dan mengobarkan semangat mereka sehingga Belanda menghadapi kesulitan. Karena hebatnya perlawanan, maka Belanda membujuk Pangeran Antasari untuk menyerah, tetapi ia tetap pada pendiriannya. Ini dijelaskan dalam surat yang ditulisnya untuk Letnan Kolonel Gustave Verspijk di Banjarmasin tanggal 20 Juli 1861, “... dengan tegas kami terangkan kepada tuan: kami tidak setuju terhadap usul minta ampun dan kami berjuang terus menuntut hak pusaka (kemerdekaan) ....”

Pada 14 Maret 1862, Pangeran Antasari diangkat sebagai pimpinan pemerintahan tertinggi di Kesultanan Banjar (Sultan Banjar) dengan menyandang gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin di hadapan para kepala suku Dayak dan adipati penguasa wilayah Dusun Atas, Kapuas, dan Kahayan, yaitu Tumenggung Surapati/Tumengung Yang Pati Jaya Raja. Pangeran Antasari juga merupakan pemimpin Suku Bakumpai, Kutai, Maanya, Murung, Ngaju, Pasir, Siang, Sihong, dan beberapa suku yang berdiam di kawasan dan pedalaman atau sepanjang Sungai Barito. 

Sebagai salah satu pemimpin rakyat yang penuh dedikasi maupun sebagai sepupu dari pewaris Kesultanan Banjar, untuk mengukuhkan kedudukannya sebagai pemimpin perjuangan umat Islam tertinggi di Banjar bagian utara (Muara Teweh dan sekitarnya), maka pada 14 Maret 1862, bertepatan dengan 13 Ramadan 1278 Hijriah, dimulai dengan seruan, “Hidup untuk Allah dan Mati untuk Allah.” Seluruh rakyat Banjar mengangkat Pangeran Antasari menjadi Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminini, yaitu pemimpin pemerintahan, panglima perang, dan pemuka agama tertinggi.

Dalam keadaan sangat terjepit, Pangeran Hidayat akhirnya menyerah kepada Belanda. Kepala-kepala daerah lain pun banyak pula yang menyerah. Pangeran Antasari tetap melanjutkan perjuangan. Baginya, pantang untuk berdamai dengan Belanda, apalagi menyerah. Ia terus melanjutkan perjuangannya dengan berperang di kawasan Kalimantan Selatan dan Tengah. Pada Oktober 1862, suatu serangan besar- besaran telah direncanakan.

Pasukan telah disiapkan, wabah penyakit cacar menyerang dan melemahkan pasukan ini beserta Antasari juga terkena wabah tersebut. Pangeran Antasari meninggal dunia pada 11 Oktober 1862 di Tanah Kampung Bayan Begok, Sampirang. Perjuangannya dilanjutkan oleh putranya yang bernama Muhammad Seman.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Perlawanan Pangeran Antasari di Kalimantan (1859 - 1862)"

Post a Comment