Perlawanan I Gusti Ketut Jelantik di Bali (1846 - 1849)
Perlawanan I Gusti Ketut Jelantik di Bali (1846 - 1849)
I Gusti Ketut Jelantik adalah putra dari I Gusti Nyoman Jelantik Raya. Ia diangkat sebagai patih di Kerajaan Buleleng pada tahun 1828 dan meninggal pada tahun 1849. I Gusti Ketut Jelantik dikenal luas karena keberaniannya dalam melawan penjajah Belanda pada saat itu. Sikap dan tindakannya dinilai berani karena menolak tuntutan Belanda dalam sebuah perundingan yang menuntut agar Kerajaan Buleleng mengganti kerugian kapal yang dirusak dan mengakui kedaulatan pemerintah Hindia Belanda. Pada saat perundingan itu, pihak Belanda diwakili oleh JPT Mayor Komisaris Hindia Belanda, sedangkan Kerajaan Buleleng diwakili oleh Raja Buleleng, I Gusti Ngurah Mada Karangasem, dan Patih Agung, I Gusti Ketut Jelantik.
I Gusti Ketut Jelantik marah besar dengan tuntutan pihak Belanda agar kerajaannya tunduk kepada kolonial Belanda. Oleh sebab itu, ia berucap, “Tidak bisa menguasai negeri orang lain hanya dengan sehelai kertas saja, tapi harus diselesaikan di atas ujung keris. Selama saya hidup, kerajaan ini tidak akan pernah mengakui kedaulatan Belanda.”
Belanda terus mencoba mencari celah untuk melawan I Gusti Ketut Jelantik, salah satunya dengan memanfaatkan Raja Klungkung. Dalam pertemuan yang berlangsung pada 12 Mei 1845, Belanda menuntut agar Buleleng mengganti rugi kapal dan menghapuskan hak “tawan karang”, yakni merampas perahu yang terdampar di kawasan Buleleng. I Gusti Ketut Jelantik marah dengan tuntutan Belanda itu, bahkan ia menghunuskan sebilah keris pada kertas perjanjian.
Pada 27 Juni 1846, Belanda melakukan serangan ke Kerajaan Buleleng. Akhirnya, Kerajaan Buleleng jatuh ke tangan Belanda pada 29 Juni 1846. Kemudian, Raja Buleleng dan Patih I Gusti Ketut Jelantik mundur ke Desa Jagaraga untuk menyusun kekuatan. Patih I Gusti Ketut Jelantik adalah seseorang yang ahli strategi perang dan menjadi sosok yang disegani oleh raja-raja lain karena sikapnya yang teguh pendirian. Hal ini ditunjukkan ketika mempertahankan Desa Jagaraga, Patih I Gusti Ketut Jelantik terus memperkuat pasukannya dan mendapat bantuan dari kerajaan lain seperti Klungkung, Karangasem, Badung, dan Mengwi.
Pada 6-8 Juni 1848, pihak Belanda melakukan serangan kedua dengan mendaratkan pasukannya di Sangsit. Bali yang dipimpin oleh I Gusti Ketut Jelantik mengerahkan pasukan Benteng Jagaraga yang merupakan benteng terkuat bila dibandingkan dengan empat benteng lainnya. Sedangkan pihak Belanda dipimpin oleh Jendral Van Der Wijck. Namun, pihak Belanda gagal menembus benteng yang dipimpin oleh I Gusti Ketut Jelantik dan hanya mampu merebut satu benteng saja, yakni benteng sebelah timur Sangsit yang berada dekat Bungkulan.
Adanya kekalahan ini semakin mengangkat semangat raja-raja lainnya untuk semakin mengerahkan kekuatan dalam melawan Belanda. Pasukan Patih Jelantik ini menggegerkan parlemen Belanda yang kemudian melancarkan serangan besar- besaran yang dipimpin oleh Jendral Michiels pada 31 Maret 1849. Belanda menyerang Bali dengan menembakkan meriam-meriamnya.
Pada 7 April 1849, Raja Buleleng dan Patih Jelantik bersama 12 ribu prajurit berhadapan dengan Jendral Michiels. Karena kalah persenjataan, Bali terdesak dan mundur sampai Pegunungan Batur Kintamani. Jagaraga akhirnya jatuh ke tangan Belanda pada 16 April 1849. I Gusti Ketut Jelantik gugur pada serangan di Karangasem oleh Belanda yang didatangkan dari Lombok dan menyerang hingga ke Pegunungan Bale Punduk. Gugurnya I Gusti Ketut Jelantik membuat perlawanan raja-raja Bali mulai mengalami kemunduran. Daerah Bali dapat dengan mudah dikuasai. Hanya tersisa Bali Selatan yang masih melakukan perlawanan.
0 Response to "Perlawanan I Gusti Ketut Jelantik di Bali (1846 - 1849)"
Post a Comment