Organisasi Perjuangan Pergerakan Nasional Sebelum dan Sesudah 1908
Organisasi Perjuangan Pergerakan Nasional Sebelum dan Sesudah 1908
Perjuangan bangsa menuju Indonesia merdeka memang sudah ada jauh sebelum adanya politik etis yang dituntut Van Deventer untuk memberi kesempatan kepada pribumi agar mengenyam pendidikan. Namun, karena perjuangan mereka masih sebatas pada kepentingan kedaerahan atau karena harga diri serta martabat yang terabaikan karena monopoli perdagangan, maka kolonial Belanda mudah mematahkan perjuangan mereka.
Perjuangan Imam Bonjol dan Diponegoro yang secara tidak sengaja terjadi bersamaan ternyata sangat merepotkan kolonial Belanda. Baru setelah kolonial Belanda menghadapi mereka satu demi satu, akhirnya perjuangan mereka dapat dihentikan.
Untuk lebih memahami karakter perjuangan sebelum dan sesudah tahun 1908, perhatikan paparan berikut ini.
1. Sebelum Tahun 1908 dipimpin raja atau bangsawan dan tokoh agama, sedangkan setelah 1908 dipimpin dan digerakkan kaum terpelajar.
2. Sebelum Tahun 1908 bersifat kedaerahan (lokal), sedangkan setelah 1908 bersifat nasional dan sudah ada interaksi antardaerah.
3. Sebelum Tahun 1908 bersifat fisik atau perjuangan dengan mengangkat senjata, sedangkan setelah 1908 perjuangan menggunakan jalur organisasi.
4. Sebelum Tahun 1908 terfokus pada pemimpin yang berkarisma, sedangkan setelah 1908 memiliki organisasi dengan adanya kaderisasi.
5. Sebelum Tahun 1908 bersifat reaktif dan spontan, sedangkan setelah 1908 memiliki visi secara jelas, yakni Indonesia Merdeka.
Berikut penjelasan dari perjuangan bangsa Indonesia melawan kolonialisme setelah tahun 1908.
1. Dipimpin dan Digerakkan KaumTerpelajar
Setelah tahun 1908, walaupun di antara mereka berlatar belakang bangsawan yang sehari-harinya bergelut dengan sistem feodalisme, tetapi mereka adalah orang-orang terpelajar. Munculnya kaum terpelajar pada saat itu tidak terlepas dari politik etis yang membuka keran bagi kaum pribumi (inlander) untuk dapat mengenyam pendidikan. Walaupun sebatas pada kaum bangsawan dan bukan untuk rakyat jelata, tetapi sudah cukup untuk mengantar para tokoh untuk berpikir bagaimana cara mencapai Indonesia merdeka. Awalnya, pendidikan dalam politik etis dibuka dengan tujuan menciptakan tenaga administrasi terdididik dengan gaji yang murah. Namun, dengan adanya sekolah-sekolah milik Belanda seperti HIS, ELS, MULO, dan HBS yang dinikmati tidak lebih 10 persen orang Indonesia, ternyata dapat melahirkan golongan cendekiawan seperti Supomo, Suwardi Suryaningrat, Sukarno, Moh. Hatta, dan Sutan Syahrir. Kaum cendekia ini ada yang berjuang secara kooperatif seperti Sukarno dan ada yang berjuang nonkooperatif seperti Sutan Syahrir.
2. Bersifat Nasional dan Sudah Ada Interaksi Antar Daerah
Setelah tahun 1908, kolonial Belanda mencanangkan penjajahannya di Indonesia dalam satu komando yang memantau dari berbagai daerah dengan nama Pax Netherlandica. Sistem Pax Netherlandica merupakan sistem politik pembulatan negeri oleh kolonial Belanda dengan tujuan agar negara asing seperti Inggris, Spanyol, dan Portugis tidak lagi menduduki wilayah Indonesia. Salah satu upayanya adalah mengirim pasukan militer ke daerah yang belum dikuasai di Nusantara. Keberhasilan sistem politik Pax Netherlandica berdampak pada penyatuan rakyat Indonesia dalam perasaan senasib sepenanggungan, yaitu sama-sama dijajah Belanda. Penderitaan yang dialami satu daerah tidak lagi dianggap sebagai penderitaan daerah itu semata, melainkan penderitaan seluruh rakyat Hindia Timur (Indonesia). Hal inilah yang memicu persatuan yang pada akhirnya melahirkan kesadaran sebagai suatu bangsa atau kesadaran nasional. Kesadaran berbangsa ini tidak terlepas dari peran kaum terpelajar dan terdidik. Mereka bertemu satu sama lain antardaerah di dalam negeri maupun di luar negeri saat mengenyam pendidikan. Di tempat pendidikan, pelajar-pelajar tersebut bertemu untuk membahas nasib dan masa depan Indonesia. Contohnya mahasiswa STOVIA (kedokteran) yang bertemu satu sama lain antardaerah yang kemudian melahirkan organisasi Budi Utomo untuk Indonesia merdeka.
3. Perjuangan Menggunakan Jalur Organisasi
Meskipun perjuangan dengan senjata dilakukan secara sporadis, tetapi pada dasarnya setelah tahun 1908, perjuangan sudah menggunakan jalur organisasi. Banyak cara dalam berjuang secara organisatoris, misalnya diplomasi, kampanye lewat media radio dan 90 surat kabar, pidato di lapangan terbuka (rapat akbar), dan ada yang menolak bekerja sama dengan kolonial Belanda. Perjuangan dengan cara organisasi dikarenakan bangsa kita sudah mulai sadar bahwa jika berjuang dengan senjata tidak mungkin menandingi kecanggihan senjata yang dimiliki penjajah. Terbukti, keberhasilan kita mempertahankan kemerdekaan adalah karena tokoh-tokoh pejuang Indonesia menyeimbangkan antara perjuangan secara militer dan perjuangan melalui diplomasi.
4. Memiliki Organisasi
Dengan Adanya Kaderisasi Sebelum tahun 1908, perjuangan pada umumnya tergantung pada munculnya satu atau beberapa tokoh sehingga jika tokoh tersebut gugur atau ditangkap, dengan mudah kolonial memadamkan api perjuangan. Setelah tahun 1908, perlawanan tergantung pada organisasi-organisasi pergerakan dengan kaderisasi yang sudah rapi. Dengan demikian, jika pionir wafat, maka perjuangan tetap terjaga keberlangsungannya. Contohnya dengan wafatnya Jenderal Sudirman pada usia 34 tahun, perjuangan diteruskan oleh penggantinya, yakni jenderal Gatot Subroto.
5. Memiliki Visi Secara Jelas, yakni Indonesia Merdeka
Sebelum tahun 1908, perjuangan raja-raja lokal dilatarbelakangi oleh monopoli perdagangan atau penguasaan daerah yang dianggap melecehkan martabat dan harga diri penguasa daerah. Setelah tahun 1908, munculnya organisasi-oganisasi pergerakan dilatarbelakangi satu misi dan visi yang jelas, yakni Indonesia menuju kemerdekaan. Walaupun organisasi-organisasi kepemudaan tersebut bersifat sosial budaya, tetapi lambat laun berubah menjadi organisasi politik dengan tujuan mengusir penjajah dari bumi Indonesia.
0 Response to "Organisasi Perjuangan Pergerakan Nasional Sebelum dan Sesudah 1908 "
Post a Comment